Media ICT inilah yang memberi nuansa dan sentuhan baru pada ghosting dibanding "kakak sepupunya", yakni avoidance tadi. Hingga, ghosting dianugerahi sebutan sebagai teknik kontemporer memutus hubungan di era digital.
Ghosting juga sering terjadi pada periode masa transisi dewasa yakni usia 18-29 tahun. Usia ini memiliki penggunaan teknologi yang tinggi baik komputer maupun ponsel. Maka, media ini pula yang digunakan untuk memulai maupun melakukan terminasi hubungan pada zaman now.
Ciri-ciri perilaku ghosting adalah memutuskan hubungan dengan seseorang dalam sebuah relasi melalui cara menghilang tanpa kabar, tanpa pemberitahuan, dan bahkan tanpa memberi pilihan.
Pertanyaannya, kenapa seseorang melakukan ghosting? Penelitian Levebre dan kawan-kawan ini menunjukkan ada lima alasan penting seseorang melakukan aksi ini.
Fenomena ghosting paling berdampak pada "korban" dari pelaku ghosting dan keluarganya. Apalagi dalam kultur Asia, keluarga memiliki andil yang besar dalam sebuah perhelatan akbar dua insan yakni pacaran, tunangan, hingga pernikahan.
Peristiwa ghosting ini bisa memberikan sebuah konsekuensi perasaan longing atau pengharapan yang tidak jelas. Korban juga bisa bingung, kangen, tetapi sekaligus kecewa, marah, dan kesal.
Selain itu, timbul juga dampak ketidakberdayaan dari korban karena merasa diperlakukan tidak adil dan penuh ambiguitas.
Akan tetapi, ghosting harus disikapi dengan tepat. Banyak "korban" yang menyalahkan diri sendiri. Misalnya, ketika mencari jawaban tentang mengapa ini terjadi? Apa yang salah dari dirinya sehingga pelaku ini tidak menghubungi?
Information seeking atau pencarian informasi di tengah situasi ambigu ini yang kadang membawa korban merasa bersalah karena tidak menemukan jawaban.
Cara yang sejauh ini dinilai tepat adalah dengan menyikapi ketidakpastian itu dengan membangun benteng pertahanan diri dan beradaptasi dengan mencari stabilitas dari gangguan ketidakpastian.
Ketangguhan seseorang dalam situasi ketidakpastian adalah mencari stabilitas dan kepastian orang-orang yang jelas dan sungguh-sungguh mencintai mereka. Misalnya, melalui dukungan dari keluarga dan teman terdekat. Menggegam kepastian itu dan membuang perasaan yang tidak pasti mengganggu itu.
Sepenggal lagu Ariel "Noah" ini mungkin bisa menjadi mantra bagi korban ghosting yang menjadi fenomena hubungan anak zaman now.
Engkau bukanlah segalaku
Bukan tempat tuk hentikan langkahku
Usai sudah semua berlalu
Biar hujan menghapus jejakmu
Desideria Cempaka Wijaya Murti, SSos, MA, PhD
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta