Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Untar untuk Indonesia
Akademisi

Platform akademisi Universitas Tarumanagara guna menyebarluaskan atau diseminasi hasil riset terkini kepada khalayak luas untuk membangun Indonesia yang lebih baik.

Mengubah Paradigma Anak: Tidak Semua Orang Harus Menjadi Pegawai

Kompas.com - 17/03/2021, 11:06 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Riana Sahrani

PANDEMI Covid-19 membawa dampak yang serius dalam semua lini kehidupan, tidak terkecuali pada para pegawai atau karyawan.

Pemberitaan Kompas tanggal 10 Maret 2021 mengenai "Angka PHK Melonjak Tajam" membuat penulis tersentak.

Bagaimana kondisi ini tidak membuat kaget karena angka pemutusan hubungan kerja (PHK) pada 2020 tercatat 20 kali lebih banyak dibanding tahun 2019.

Lebih lanjut, Kementerian Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa terdapat 386.877 karyawan yang terkena PHK pada 2020, dibandingkan "hanya" 18.911 orang pada 2019 (Kompas, 12 Maret 2021).

Mari kita bayangkan, berapa banyak angka pengangguran yang ada saat ini.

Tentunya sangat banyak dan akan bertambah banyak lagi di tahun-tahun mendatang, seiring dengan lulusnya para siswa menengah atas dan juga mahasiswa.

Cita-cita mereka ingin menjadi karyawan kantoran terpaksa harus dihentikan paksa.

Jangankan berpikir jadi pekerja di perusahaan besar, perusahaan kecil pun belum membuka lowongan lagi.

Banyak orang yang akhirnya harus mengubah paradigma lama, yaitu bekerja harus sesuai dengan latar belakang pendidikan.

Tidak jarang kita lihat selama masa pandemi ini banyak orang mengubah arah pekerjaan, walau berarti dalam hal ini orang tersebut harus belajar dan berusaha mulai dari nol lagi.

Semua ini memang harus dijalani karena kalau tidak kita akan semakin terkungkung dalam kondisi stres yang tidak berkesudahan.

Jadi apakah kita tidak perlu sekolah atau kuliah, apalagi yang tidak sesuai dengan bidang yang kita minati?

Sekolah tetap harus dan wajib, karena dengan sekolah kita mendapatkan pendidikan dan wawasan yang luas.

Pendidikan inilah bekal kita dalam mengatasi permasalahan dan menghadapi tantangan hidup.

Maka itu, kita harus mengubah paradigma, bahwa pendidikan tidak selalu identik dengan pekerjaan yang akan kita tekuni nantinya. Seperti kata pepatah, banyak jalan menuju Roma.

Para remaja, bahkan yang masih anak-anak saat ini, diharapkan mulai menekuni hobi atau hal yang mereka sukai.

Hal ini karena di masa pandemi, semua berubah arah, bahkan banyak profesi baru yang muncul.

Bahkan ada Fakultas yang relatif "baru" di beberapa universitas di Indonesia. Ada fakultas ilmu dan teknologi kebumian, teknik biomedis, rekayasa nanoteknologi, teknologi sains data, teknik robotika dan kecerdasan buatan, dan masih ada yang lainnya.

Hal ini berarti ada profesi baru yang dapat kita tekuni, sesuai dengan minat kita.

Sebaliknya, ada pekerjaan yang bisa kita tekuni dan sesuai dengan minat kita, walau tidak sejalan dengan bidang pendidikan kita.

Sebagai contoh, ada seorang sarjana akuntansi yang justru berhasil menjadi pengusaha perhiasan di Amerika, laris malah. Ada juga penyiar radio yang cukup terkenal, yang sebenarnya adalah seorang dokter.

Kita perlu menekankan pada generasi muda bahwa tidak usah takut tidak mendapatkan pekerjaan, apalagi di masa pandemi. Asalkan kita bisa menekuni hobi kita yang dapat kita jadikan penghasilan kita.

Misalnya anak yang mempunyai hobi fotografi, kita arahkan agar rajin berlatih, bila perlu ikut lomba-lomba fotografi, sehingga hal ini juga dapat menjadi sumber pendapatannya dikemudian hari atau justru mulai dari saat ini.

Anak yang suka sekali memasak, kita arahkan agar ia lebih menyukai hobinya ini misalnya dengan menemaninya berlatih atau memfasilitasinya dengan kursus memasak dan sebagainya.

Paradigma lama bahwa semua orang harus jadi pegawai kantor harus diubah menjadi paradigma baru, bahwa lebih baik menjadikan hobi kita sebagai sumber pendapatan kita.

Tentunya hal ini tidak dapat dilakukan oleh anak seorang diri. Ia masih membutuhkan dukungan dari orangtua dan guru.

Oleh karena itu, orangtua dan guru dapat mengobservasi anak dan mengetahui apa yang menjadi bakat dan minat dari anak.

Memang untuk mengerjakan suatu hal yang anak minati, tapi kurang didukung oleh bakat, tentunya akan lebih sulit daripada bila anak mempunyai bakat.

Namun, suatu hal yang sulit juga apabila anak tidak mempunyai minat tertentu, akan tetapi ia memiliki bakat di bidangnya.

Situasi ini akan lebih mudah apabila ada konselor sekolah atau psikolog yang dapat melakukan pemeriksaan atau asesmen, mengenai bakat dan minat yang dominan dari anak tersebut.

Mana yang lebih baik: apakah anak mempunyai minat atau bakat terlebih dahulu?

Menurut penulis, lebih baik memiliki minat yang tinggi pada hal tertentu terlebih dahulu, sehingga motivasi yang kuat ini dapat memacu anak untuk terus berlatih walaupun bakatnya dibidang tersebut tidak terlalu besar.

Maka, sebaiknya anak dapat menunjukkan beberapa hal yang ia minati, setidaknya dua atau tiga hal, bukan hanya satu pilihan.

Orangtua dan guru diharapkan mendukung anak agar dapat mengeksplorasi minat dan bakatnya. Misalnya dengan memberikan banyak wawasan pada anak mengenai pekerjaan yang ada.

Mengajak anak ke planetarium, kebun binatang, pantai, laut, gunung, danau, perpustakaan, mercusuar, dan lain sebagainya (walau secara daring), sedikitnya akan membuka wawasan anak bahwa banyak pekerjaan yang dapat ditekuni.

Kegiatan ini juga dapat mendorong tumbuhnya minat dalam diri anak mengenai hal tertentu.

Kemudian, setelah anak mengeksplorasi apa saja yang ia minati, kita dapat mengajak anak berdiskusi dan menggantungkan "bintang" sebagai tujuan akhirnya nanti.

Penting bagi anak untuk memiliki visi dan tujuan yang ingin dicapai, sehingga ia pun menjadi lebih termotivasi dalam meraih cita-citanya.

Selanjutnya, dampingi anak dalam mengejar impian tersebut. Kita sebagai orangtua dan guru dapat membantu dalam mencari informasi yang dibutuhkan.

Misalnya bila anak suka sekali menggambar atau melukis, kursus apa yang perlu diikuti, lomba-lomba apa yang merupakan peluang bagi anak, media apa yang dibutuhkan untuk mempertunjukkan hasil karya anak, dan sebagainya.

Terakhir, walau masih banyak hal lain yang dapat diuraikan, adalah menekankan pada anak bahwa dalam setiap hal ada keberhasilan dan juga kadang ada kegagalan.

Tidak usah takut gagal, karena keberhasilan juga membutuhkan keberanian. Selalu berusaha dan berdoa merupakan tips jitu disegala kondisi, bahkan pada masa pandemi Covid-19.

Riana Sahrani
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com