KOMPAS.com - Kasus penganiayaan balita di Tangerang yang viral adalah bukti kesekian perilaku kekerasan terhadap anak yang masih cukup tinggi.
Anak seharusnya dilindungi oleh orang tua dan orang dewasa di sekitarnya. Sayangnya, fakta menunjukkan jika tindak kekerasan malah kerap menimpa anak-anak.
Bentuk penganiayaan juga beragam, mulai dari psikis, fisik sampai yang berujung pada kematian.
Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menyebutkan jika pelaku kekerasan hampir seluruhnya merupakan orang terdekat anak. Mulai dari bibi, paman, pengasuh dan paling banyak orang tua.
Felicia Navarez, pekerja sosial yang kerap menangani kasus ini di Texas mengatakan jika tindakan kekerasan yang dilakukan orang terdekat kerap membuat anak kebingungan.
"Orang yang seharusnya menyayangi dan melindungi malah melakukan kekerasan," ujarnya sebagaimana dilansir dari laman Share Care pada Rabu (17/03/2021).
Baca juga: Balita Dalam Video Penganiayaan Dipukul 25 Kali oleh Pemuda di Tangerang, Mengalami Luka dan Trauma
Hal ini amat disayangkan karena dampaknya bisa dirasakan dalam jangka panjang. Bukan hanya kesakitan secara fisik namun juga memberikan efek pada kesehatan mentalnya.
Setidaknya ada 5 efek jangka panjang kekerasan pada anak yang harus diwasapadai antara lain:
Depresi adalah dampak yang paling sering muncul dari kekerasan terhadap anak. Kebanyakan korban merasa tindakan itu akibat kesalahan mereka. Pikiran ini memicu perasaan tidak berharga yang berujung pada depresi.
Gangguan mental ini juga kerap dirasakan anak yang punya sejarah sebagai korban kekerasan. Navarez mengatakan jika anak akan merasa cemas terus menerus dan tidak percaya baik pada dirinya maupun lingkungan di sekitarnya.
Perasaan negatif ini bahkan terus bertahan hingga usia dewasa dan mengganggu kehidupan mereka berikutnya.
Baca juga: 5 Langkah Sederhana Menjaga Kesehatan Anak di Masa Pandemi
Ilustrasi balita bermain dengan orangtua.
Trauma masa kecil dapat berpengaruh pada hubungan pribadi yang dijalani ketika dewasa. Hal ini berawal dari perasaan rendah diri yang membuat mereka mempertanyakan banyak hal.
Anak korban kekerasan juga cenderung terjebak pada hubungan yang tidak sehat dan cenderung sulit keluar dari posisi tersebut. Secara tidak langsung, mereka merasa jika ini adalah akibat dari kesalahan di masa lalu.
Baca juga: Balita Sering Memukul Ketika Marah, Ini yang Harus Dilakukan Orangtua
Anak korban kekerasan juga cenderung melakukan perbuatan yang tidak sehat. Misalnya saja gangguan makan, alkoholik dan penyalahgunaan obat-obatan.
Dari yang sebelumnya sebagai korban, mereka juga bisa beralih menjadi pelaku kekerasan dan kriminalitas. Hal ini merupakan efek berlapis atas perasaan rendah diri yang dirasakan.
Kekerasan yang dilakukan orang dewasa jelas menghasilkan rasa sakit fisik kepada anak. Lebam, berdarah dan patah tulang adalah efek yang nampak dari luar.
Namun, karena anak sedang dalam fase tumbuh kembang maka perilaku ini juga akan menggangu perkembangan otak dan trauma mendalam.
Dalam jangka panjang, ini menyebakan sejumlah masalah kesehatan seperti jantung, penyakit paru obstruktif kronik, tekanan darah tinggi, diabetes, asma, penyakit hati, dan obesitas. Biasanya keluhan ini baru dirasakan setelah mencapai usia dewasa.
Baca juga: 5 Langkah Mengatasi Stres pada Anak Praremaja di Masa Pandemi
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.