KOMPAS.com - Tagar #StopAsianHate menjadi trending topic di Twitter menyusul kasus penembakan di Amerika Serikat yang menewaskan 6 perempuan Asia.
Rasialisme terhadap orang Asia di Amerika Serikat beberapa waktu belakangan memang semakin tinggi. Lembaga Stop AAPI Hate menyatakan, ada 3.800 insiden kebencian terhadap minoritas ini selama setahun belakangan.
Sebagian besar korbannya merupakan wanita, ditopang dengan anggapan bahwa wanita Asia berkarakter lemah lembut dan patuh. Diperkirakan kejadian rasialisme di lapangan jauh lebih tinggi karena masih banyak yang belum dilaporkan.
Peningkatan insiden kebencian pada Asia juga didukung dengan adanya pandemi Covid-19. Pelaku kebencian menilai bahwa corona hadir di Amerika dengan dibawa oleh kaum Asia.
Hal ini jelas tidak berdasar, namun tidak menghilangkan fakta bahwa rasialisme masih banyak ditemukan di dunia. Pelakunya juga beragam, mulai dari anak sampai orang tua.
Baca juga: Covid-19, Rasisme, dan Perubahan Iklim Jadi Perhatian Kaum Muda di Pemilu Amerika Serikat
Australian Human Right Commision menyebutkan, rasialisme muncul karena manusia kerap menghakimi satu sama lainya. Selain itu, sikap negatif ini juga buah dari rasa frustrasi atas masalah yang dihadapi.
Orang dengan tampilan fisik atau bahasa yang berbeda memang merupakan sasaran kebencian yang sangat mudah. Hal ini agaknya yang menjadi gambaran atas situasi yang terjadi di Amerika saat ini.
Faktanya, tidak ada alasan apa pun yang membenarkan sikap rasial manusia terhadap sesamanya. Secara biologis semua ras di dunia setara tanpa perbedaan kualitas.
Meski demikian, sikap rasial kerap terbentuk dari lingkungan sekitar. Pola pendidikan, orangtua, dan pengaruh orang sekitar menjadi salah satu hal yang membentuk pikiran negatif ini.
Karena itu, sangat penting untuk mendidik buah hati agar terhindari dari sikap rasial sejak dini.
Baca juga: F-PDIP Sebut Disdik DKI Jakarta Tak Serius Tindak Guru Rasis dan Politis
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.