Tindakan ini sebenarnya digolongkan oleh WHO sebagai pelanggaran HAM bagi perempuan.
Pasalnya ini melanggar hak seksual dan reproduksi yang seharusnya dimiliki wanita.
Selain itu, tidak ada bukti ilmiah yang menunjukkan jika pelaksanaanya akan memberikan manfaat kesehatan.
Sebaliknya, ini dapat menyebabkan perdarahan hebat dan masalah buang air kecil, kista, infeksi, serta komplikasi saat melahirkan dan peningkatan risiko kematian bayi baru lahir.
Sayangnya, WHO mencatat jika lebih dari 200 juta anak perempuan dan perempuan di 30 negara di Afrika, Timur Tengah dan Asia harus mengalaminya.
Biasanya praktik ini dijalankan dengan dasar adat tradisi yang telah mengakar di komunitas tertentu. Dasar yang kerap dipakai adalah alasan moralitas dan agama.
Banyak yang percaya jika mutilasi alat kelamin akan membuat wanita lebih terkontrol dan tidak bersikap binal.
Baca juga: Kenali Mitos dan Fakta HIV/AIDS, Biar Tak Gampang Kasih Stigma
Pelaksanaannya sangat kuat kaitannya dengan kontrol seksual dan bentuk kuasa terhadap perempuan bahkan terkait seksualitasnya.
Praktik FGM yang terus berlanjut juga menjadi bukti akan norma patriarki yang berlangsung di masyarakat tersebut.
Perjuangan El Sadaawi sebenarnya juga mewakili kondisi yang terjadi di Indonesia. Masih banyak masyarakat lokal yang melakukannya dengan alasan serupa, menghormati tradisi dan budaya.
Karena dianggap tradisi, penyebaran informasi mengenai FGM juga kerap terjadi di lingkungan keluarga.
Penelitian Pusat Studi dan Kependudukan (PSKK) Universitas Gadjah Mada mengungkapkan jika 87,3 persen responden mendapatkan informasi mengenai sunat perempuan dari orang tuanya
Data yang dihimpun dari 4.250 rumah tangga di 10 provinsi Indonesia ini juga menghasilkan fakta bahwa doktrin agama dan juga tradisi di masyarakat menjadi alasan pelaksanaan sunat pada perempuan.
Baca juga: Banyak Remaja Perempuan Tidak Sadar Jadi Korban Kekerasan Seksual
Sebanyak 92,7 persen responden mengungkapkan perintah agama menjadi alasan untuk melakukan sunat perempuan dan 84,1 persen karena alasan tradisi.
Peneliti PSKK UGM, Sri Purwantiningsih mengatakan jika terjadi reproduksi kultural dalam rumah tangga sehingga hal ini kerap berulang antar generasi. Karena itulah sangat sulit membasmi tindak mutilasi ini hingga ke akarnya.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.