KOMPAS.com - Bertepatan dengan momen International Women’s Day atau Hari Perempuan Internasional, seorang korban pemerkosaan bernama Amy menceritakan kejadian yang menimpanya dengan suara lirih.
“Saya Amy, pada Agustus 2019 saya mengalami pemerkosaan di rumah saya sendiri. Meskipun akhirnya saya berani buka suara, tapi ketakutan dan trauma itu tidak mudah dilepas," ujarnya di Gedung DPR-RI, Senin (8/3/2021).
Apa yang disampaikan Amy, mungkin juga dirasakan ribuan bahkan jutaan perempuan Indonesia. Namun banyak diantaranya tidak seberani Amy untuk bersuara karena merasa hukum tidak melindunginya.
Selain itu, setiap korban kekerasan seksual memiliki respon yang bebeda-beda. Ada yang bisa segera mencari bantuan, namun kebanyakan benar-benar depresi dan memilih diam.
Bercerita, bagi korban berarti mengingat kembali peristiwa traumatis yang pernah ia alami, dan itu sangat menyakitkan. Karena itu dibutuhkan kesiapan mental dari korban untuk bercerita.
Belum lagi jika korban harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang memojokkannya dan menjadikannya ikut bersalah, seperti pertanyaan "Apakah kamu mengenakan pakaian terbuka? Mengapa kamu tidak melawan atau berteriak? dan sebagainya.
Ketakutan korban kekerasan seksual untuk melapor bisa jadi menandakan ada yang kurang pada hukum kita, ada yang tidak beres pada masyarakat kita.
Mengapa demikian?
Menurut Wawan Suwandi, Public Relations Yayasan Pulih, selama ini kasus kekerasan seksual ditangani menggunakan KUHAP, dimana undang-undang itu belum mengakomodasi kebutuhan korban.
"Bahkan menurut orang yang memahami hukum, KUHP justru banyak memfasilitasi hak-hak pelaku,"ujar Wawan menjawab pertanyaan melalui pesan elektronik.
"Korban, termasuk korban dengan disabilitas, terkadang mengalami trauma berulang selama proses pelaporan, pemeriksaan, mendapat pertanyaan/pernyataan yang menyalahkan korban. Trauma berulang juga terjadi hingga di persidangan," katanya.
Selama ini korban juga rentan dilaporkan balik oleh pelaku, sebagaimana yang pernah menimpa BN, korban kekerasan seksual yang dilaporkan oleh pelaku, yang saat itu menjabat sebagai kepala sekolah.
Menurut Komnas Perempuan, aturan dalam Sistem Peradilan Pidana tidak sensitif terhadap kebutuhan khusus korban. Saksi atau korban seringkali tidak mendapat bantuan hukum atau pendampingan.
Pasalnya, KUHAP hanya mengatur hak atas bantuan hukum bagi tersangka dan terdakwa. Sedangkan UU Perlindungan Saksi Korban hanya mengatur bahwa hanya dalam kasus tertentu dan dengan keputusan LPSK, saksi dapat memperoleh bantuan hukum.
Baca juga: Melawan Kekerasan Seksual, Mengapa RUU PKS Harus Disahkan?
Masih menurut Wawan Suwandi, dalam penegakan hukum, pemulihan bagi korban kasus kekerasan seksual saat ini masih belum ditopang oleh regulasi yang secara spesifik mengatur tentang kekerasan seksual.
Karenanya, Indonesia membutuhkan undang-undang yang berperspektif korban kekerasan seksual dan memiliki lingkup lebih luas dalam mendefinisikan kekerasan seksual, mengandung aspek-aspek perlindungan dan rehabilitasi bagi korban, serta mampu mengedukasi masyarakat.
"Caranya adalah dengan mengesahkan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS)," ujar Wawan.
RUU PKS ini memperluas cakupan alat bukti, seperti keterangan korban, surat keterangan psikolog, psikolog klinis, dan atau psikiater, rekam medis, rekaman pemeriksaan dalam proses penyidikan, informasi elektronik, dokumen, serta pemeriksaan rekening bank.
Ini memberi peluang bagi korban dan aparatur penegak hukum untuk bisa memenuhi syarat pembuktian.
Sedangkan KUHAP hanya menetapkan 5 alat bukti, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual juga melarang aparat penegak hukum untuk merendahkan, menyalahkan korban, membebankan pencarian alat bukti kepada korban.
Aparat juga dilarang menggunakan pengalaman atau latar belakang korban sebagai alasan untuk tidak melanjutkan penyidikan korban, serta melarang menyampaikan identitas korban kepada media massa atau media sosial.
"RUU Penghapusan Kekerasan Seksual mengatur tentang pemulihan korban baik selama hingga setelah proses peradilan, serta pengawasan atas proses pemulihan tersebut," jelas Wawan.
Keperpihakan pada korban juga ditunjukkan dalam RUU PKS ini, dimana korban tidak dapat dijadikan tersangka atau terdakwa atas perkara pidana yang terkait dengan kasus kekerasan seksual yang dialami korban.
Baca juga: Ratusan Pasang Sepatu di Depan DPR untuk Menghapus Kekerasan Seksual
Jalan masih panjang
Ini adalah sebuah milestone yang penting dalam kampanye mendorong pengesahan RUU PKS. Namun perjalanan masih panjang sebelum RUU tersebut ditetapkan menjadi Undang-Undang.
Untuk mendorong pengesahannya, berbagai pihak menyuarakan dukungannya, termasuk The Body Shop Indonesia lewat kampanye Stop Sexual Violence.
Brand perawatan tubuh asal Inggris itu mengumpulkan tanda-tangan sebagai bentuk suara dan dukungan publik, sejak 5 November 2020 dan masih akan terus diperjuangkan hingga 7 April 2021 mendatang.
Pada Hari Perempuan Internasional lalu, petisi yang sudah terkumpul sebanyak 421.218 tanda-tangan itu diserahkan ke Diah Pitaloka, S.Sos., M.Si, sebagai Ketua Presidium Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPP-RI) dan Pimpinan Komisi VIII DPR RI.
"Petisi ini kami serahkan sebagai wujud penyampaian amanah masyarakat yang mendukung kampanye Stop Sexual Violence The Body Shop Indonesia," ujar Suzy Hutomo, Executive Chairperson and Owner The Body Shop Indonesia, Senin (8/3/2021).
"Kami berharap petisi yang kami kumpulkan ini dapat mendorong pemerintah untuk segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Kami akan mengawal terus dengan semangat dan tekad perjuangan hingga RUU PKS disahkan," lanjutnya.
Sementara Aryo Widiwardhono, CEO The Body Shop Indonesia mengatakan bahwa isu kekerasan seksual itu penting untuk diangkat karena Indonesia sudah darurat kekerasan seksual.
"Kami sangat mengapresiasi para anggota dewan yang mendukung dan menerima kami agar RUU PKS masuk dalam agenda Prolegnas Prioritas 2021. Harapan kami, ini tidak hanya berhenti di sini saja, tetapi terus diperjuangkan hingga disahkan menjadi Undang-Undang," ujarnya.
Meski begitu, pengesahan RUU ini menjadi Undang Undang bukanlah langkah yang mudah. Pimpinan Komisi VIII DPR RI dari Fraksi PDIP, Diah Pitaloka S.Sos., M.Si, mengakui tidak mudah menjelaskan fenomena dan problem kekerasan seksual karena itu bisa jadi mengakar dari sejarah panjang, problem budaya, dan hukum kita secara sistemik.
Hal yang sama disampaikan Luluk Nur Hamidah, M.Si.,M.PA, anggota Komisi IV DPR RI. Menurutnya tantangan untuk mengesahkan RUU PKS sangat besar, pasalnya resistensi RUU ini melibatkan banyak aspek, bukan hanya semata-mata penting atau tidak penting, tetapi terdapat pertentangan-pertentangan agama.
"Namun ini saatnya kita harus menegakkan kebenaran, karena ada hal yang tidak bisa kita toleransi lagi yaitu kekerasan seksual," kata Luluk.
Apa yang bisa kita lakukan?
Sembari mendorong pengesahan RUU PKS menjadi Undang Undang, ada beberapa hal yang bisa kita lakukan jika menjadi korban atau saksi kekerasan seksual.
Berdasarkan panduan dari yayasan Pulih, seorang korban kekerasan seksual sebaiknya memperhatikan hal berikut:
Lalu bila Anda menjadi saksi atau dimintai tolong oleh korban kekerasan seksual:
Sebagai anggota masyarakat:
Dengan langkah-langkah di atas ditambah UU Penghapusan Kekerasan Seksual, pemulihan korban dan keamanan korban akan dijamin dan masa depan anak–anak bangsa kita aman dari kejahatan mengerikan itu.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.