Menurut Hartman dalam Pat O'Connor (2000), patriarkhi dikatakan sebagai sebuah relasi sosial antara laki-laki dan perempuan yang memiliki basis material, menciptakan interdependensi dan solidaritas sesama laki-laki yang memungkinkan laki-laki untuk mendominasi perempuan.
Dikotomi antara "perempuan baik" dan "perempuan tidak baik" inilah yang pada akhirnya dipakai untuk mengontrol dan mempertegas batas batas prilaku yang dianggap baik untuk seorang perempuan.
Cavadino dan Dignan (2011) mengatakan bahwa perempuan tidak hanya dinilai dari tindakannya akan tetapi juga berdasarkan pada gender mereka.
Akibatnya, ketika perempuan berusaha melakukan hal yang dilakukan laki-laki secara umum maka perempuan tersebut dianggap aneh, devian dan keluar dari jalur.
Dalam mekanisme sosial seperti ini Cohen and Young (2016) mengatakan bahwa perempuan tidak akan pernah berhasil menyamakan diri dengan norma yang melekat pada laki-laki.
Oleh karena itu, para wanita yang berstatus pelakor dianggap gagal masuk dalam kategori sebagai perempuan baik-baik karena posisi marjinal perempuan dalam masyarakat. Mereka dianggap gagal mematuhi stereotip gender yang dilekatkan masyarakat timur kepadanya.
Stigmatisasi pada perempuan sebagai "pelakor" dapat dimasukkan dalam kategori kekerasan simbolik.
Asumsi dasar dari konsep ini menurut Pierre Bourdieu (2002) adalah di setiap masyarakat akan ada kelompok yang dominan dan kelompok yang didominasi.
Dominasi ini tidak selalu memunculkan penolakan dari pihak yang didominasi malah sebaliknya acapkali disetujui oleh korbannya. Sehingga kekerasan yang dilakukan tidaklah dirasakan sebagai kekerasan oleh sang korban.
Banyak kelompok masyarakat yang tidak menyadari bahwa pelabelan perempuan sebagai pelakor merupakan sebuah bentuk kekerasan simbolik.
Karena kekerasan simbolik pada dasarnya merupakan pemaksaan kategori pemikiran dan persepsi terhadap agen agen sosial terdominasi maka pihak terakhir ini lalu menganggap tatanan sosial itu sebagai sesuatu yang adil.
Artinya, dengan memandang kekerasan simbolik yang dilakukan masyarakat sebagai sesuatu yang sah, yang adil, masyarakat belajar untuk percaya bahwa dalam perselingkuhan antara laki-laki dan perempuan, pihak perempuanlah yang agresif, penggoda, pencuri, perebut suami orang dan sah dinistakan sebagai "pelakor".
Adapun pihak laki-laki adalah korban yang teperdaya, tidak berdosa, dan tidak memiliki tanggung jawab apa pun.
Jadi masih bisakah kita semua menerima kenyataan bahwa "this is a man's world and still a man's world?".
Suzy Azeharie
Dosen Fakulitas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara