Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kenali Produktivitas Toksik, Sumber Kelelahan dan Bosan Bekerja

Kompas.com - 12/04/2021, 08:02 WIB
Intan Pitaloka,
Lusia Kus Anna

Tim Redaksi

Sumber HuffPost

KOMPAS.com - Kita percaya bahwa produktif  adalah kunci untuk mencapai segala tujuan dan impian. Sebisa mungkin memaksa diri untuk tidak malas-malasan.

Terutama saat pandemi Covid-19 yang membuat kita terlihat santai di rumah sehingga segala hal ingin dikerjakan agar terlihat produktif. Ujung-ujungnya kita akan kewalahan, sebuah kondisi yang disebut sebagai produktivitas beracun.

Dalam banyak hal, "produktivitas toksik" hanyalah istilah baru untuk orang yang kecanduan kerja. Produktivitas toksik pada dasarnya adalah keinginan yang tidak sehat untuk menjadi produktif setiap saat, dengan cara apa pun. 

Biasanya yang menjalaninya akan melakukan sesuatu melebihi yang diminta, baik di kantor atau di rumah. 

Baca juga: 6 Aktivitas Pagi agar Lebih Produktif pada Hari Senin

Tak pernah merasa cukup

Simone Milasas, konsultan bisnis dan penulis “Joy of Business, mengatakan bahwa orang yang mengalami produktivitas toksik merasa gagal jika kita tidak terus-menerus 'melakukannya'.

"Ketika produktivitas toksik mengendalikan hidup kita, kita akan menilai diri sendiri setiap hari atas apa yang belum dilakukan, daripada melihat apa yang telah dicapai," kata Milasas.

Kathryn Esquer, seorang psikolog dan pendiri Teletherapist Network, mengungkapkan bahwa selama pandemi banyak yang terperangkap oleh pola produktivitas toksik.

Baca juga: Jaga Keseimbangan Kehidupan-Kerja Saat WFH

Ini dikarenakan kita menjadi banyak waktu luang di rumah. Tak sedikit orang malah merasa bersalah jika malas-malasan, lalu memutuskan untuk terus-terusan bekerja.

“Kita dapat menggunakan waktu luang untuk beristirahat, mengisi energi ulang, tetapi banyak dari kita malah mengisi jam-jam itu dengan lebih banyak pekerjaan sebagai cara untuk merasa produktif,” kata Esquer.

Kebanyakan dari kita setelah seharian lelah bekerja, justru bukannya memilih untuk istirahat, malah mencoba keterampilan-keterampilan baru seperti mencoba membuat kue dan roti, merajut, menjahit atau sejenisnya.

Padahal, jika kita terlalu memaksa pada pengoptimalan diri, kita sebenarnya berisiko menjadi kurang produktif, yang mana pada akhirnya kita akan kelelahan.

Produktivitas toksik juga bisa menganggu keharmonisan hubungan dengan pasangan dan anak.

Baca juga: Waspadai Kelelahan Digital Selama Pandemi

Hindari produktivitas toksik yang bisa jadi sumber kelelahan dengan melakukan hal berikut:

Ilustrasi lemburshutterstock Ilustrasi lembur

1. Kenali tanda-tandanya

Kita perlu melihat ke diri kita. Apakah kita terjebak di perasaan yang justru menekan kita untuk terus melakukan hal yang lebih banyak dan sejenisnya? Jika merasakan hal ini, kita berada pada produktivitas toksik. 

Tanda lainnya adalah kita merasa kelelahan meski itu di pagi hari. Lalu, apakah kita bangun secara alami atau perlu mematikan alarm berkali-kali?

2. Hilangkan pertanyaan tentang "apa yang harus dilakukan sekarang?" 

Setelah selesai mengerjakan pekerjaan, jangan paksa diri untuk melakukan banyak hal lagi. Kita perlu memberikan jeda pada diri untuk istirahat.

Baca juga: Rileks di Rumah Sendiri dengan Keharuman Reed Diffuser

3. Sadari bahwa atasan tidak tertarik dengan usaha keras kita

Sadarilah bahwa atasan tidak peduli seberapa banyak waktu yang kita habiskan untuk menyelesaikan pekerjaan yang sudah menjadi tanggung jawab kita.

Yang membuatnya kagum adalah pencapaian yang dilakukan, bukan dari berapa jam kita habiskan.

Hanya sedikit bos yang peduli bahwa karyawannya telah bekerja sepanjang hari untuk kemajuan kantor.

4. Tempatkan perawatan diri di jadwal kita

Jangan pernah lupakan diri kita yang telah kita ajak berjuang bertahun-tahun hingga saat ini. Kita perlu menjaganya agar terus sehat dan bahagia.

Kegiatan yang bisa saja dilakukan adalah dengan melakukan hobi yang disukai, duduk menikmati teh hangat dengan keluarga, bahkan melakukan perawatan wajah. Yang dibutuhkan adalah untuk memberikan jeda untuk diri lebih rileks.

Baca juga: 3 Kebiasaan yang Hancurkan Diri Sendiri dan Usir Kebahagiaan

5. Gantikan produktivitas toksik jadi sikap profesional 

Jika kita terjebak dalam kondisi produktivitas toksik di lingkungan kerja, kita perlu belajar bersikap profesional "yang terisolasi". 

Laurie Ruettimann mengatakan bahwa keterpisahan profesional berarti tetap berkomitmen pada pekerjaan dan tetap melakukan tugas yang berkualitas sambil memahami bahwa "posisi di kantor bukanlah satu-satunya identitas kita".

Dengan cara ini, kita menganggap atasan dan rekan kerja seperti klien sehingga kita berusaha melakukan yang terbaik, tapi secara emosional tidak terikat dengan pekerjaan. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber HuffPost
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com