Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dinda Lisna Amilia
Dosen

Dosen Ilmu Komunikasi di Universitas 17 Agustus 1945, Surabaya.

Ketidakhadiran Orangtua dan Keluarga Toksik

Kompas.com - 14/04/2021, 21:12 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

TIDAK selamanya keluarga adalah harta yang bisa jadi berharga. Tentunya semua keluarga hadir dengan kekurangan dan kelebihannya tersendiri. Namun, ada kekurangan dari anggota keluarga yang sudah di luar kewajaran dan berimbas pada budaya toksik yang amat merugikan.

Keluarga inti (ayah, ibu, dan anak) merupakan faktor terpenting dalam tumbuh kembang psikis anak. Ketidakhadiran orang tua bisa menyebabkan rangkaian perilaku patologis pada anak.

Misalnya, mencari kambing hitam atas nasibnya. Dalam konteks ketidakhadiran orang tua, si anak bisa mencari kambing hitam sesuai dengan keinginannya. Menyalahkan salah satu dari kedua orang tuanya, menyalahkan keduanya, menyalahkan kerabat dekat yang bertindak sebagai care giver, hingga menyalahkan dirinya sendiri.

Anak memang selalu menjadi korban dari ketidakhadiran orang tua. Namun perilaku patologis yang menjadi efek dari ketidakhadiran orang tua baiknya bisa diantisipasi sejak dini.

Salah satu perilaku patologis tersebut disebut sebagai conduct disorder (CD) yang merupakan gangguan perilaku dan emosi serius yang membuat anak menunjukkan perilaku kekerasan, cenderung sulit mengikuti aturan di sekolah maupun di rumah, hingga melakukan hal di luar kewajaran (Durand & Barlow, 2007).

Salah satu kasusnya seperti ini: A merupakan anak pertama dari pasangan B dan C yang kemudian bercerai. Orang tuanya bercerai sebab C berselingkuh, menimbulkan dampak psikologi yang belum bisa dicerna oleh anak seusianya. Dia bingung dan marah kenapa orang tuanya tidak tinggal satu rumah lagi.

Akhirnya dia dibawa oleh B (ayahnya). Namun karena ayahnya harus bekerja dan tidak ada yang merawatnya, akhirnya dia dititipkan pada bibi dan paman yang merupakan adik dari B.

Saat tinggal bersama keluarga yang mengasuhnya, kondisi mental A tidak stabil. A tetap mencari kambing hitam atas persoalannya. Hal tersebut bisa menggiringnya melakukan perilaku patologis sebagai pelampiasan atas kondisi yang menimpanya.

Dalam krisis mana yang benar dan salah, A tetap menyertakan emosi tindakan-tindakannya. Penyimpangan perilaku yang ditunjukkan anak maupun remaja, seperti CD, kenakalan remaja hingga tindakan kriminal memiliki faktor risiko untuk mengalami gangguan yang lebih parah di perkembangan hidup selanjutnya.

Menurut Eppright, Kashani, Robinson, dan Reid (Durand & Barlow, 2007), individu dengan CD di masa kanak-kanak banyak yang kemudian menjadi remaja pelaku kejahatan. Pada CD semua kategori Oppostional Defiant Disorder (ODD) muncul lebih kuat dan lebih persisten. ODD dicirikan dengan pola perilaku menyimpang dan merusak secara konsisten (Burke, Loeber, & Birmaher, 2002).

Dalam skenario terburuk, A tidak mampu beradaptasi dengan keluarga barunya yang punya peraturan-peraturan tidak tertulis dalam keluarga lainnya seperti jam malam, cara bersopan santun, dan lainnya.

Hal itu membuatnya frustrasi dan mencari cara untuk pulang ke orang tua yang telah melemparnya ke sana-sini. Dalam perilaku CD, seorang anak tersebut bisa saja merencanakan hal yang tidak bisa diprediksi keluarga yang mengasuhnya.

Alur konflik keluarga memang sangat kompleks. Tidak bisa digeneralisir dan menilai secara hitam dan putih dalam menilai mana yang benar dan salah.

Salah satu tipikal masalah keluarga yang sering menjadi perkara hukum lainnya adalah tuntut-menuntut soal warisan. Uang menjadi sumber konflik yang tak terhindarkan. Atau jangankan warisan, hutang antar anggota keluarga yang belum terbayar saja bisa berujung pada tuntutan pidana.

Untuk menghindari masalah keluarga yang bermuara pada uang, kita kadangkala memilih untuk sebisa mungkin menghindari pinjam-meminjam uang pada keluarga terdekat. Ironisnya, keluarga yang harusnya menghormati pilihan kita, malah menjadikan hal tersebut sebagai hal yang patut dibalas di kemudian hari.

Dua contoh kasus diatas hanyalah satu dari banyaknya drama keluarga yang berujung pada tuntutan secara pidana yang sebenarnya punya potensi untuk diselesaikan secara kekeluargaan. Harusnya bisa diselesaikan tanpa melibatkan aparat hukum, menguras energi, dan menjadi konsumsi publik.

Menormalisasi ketidaksempurnaan dalam keluarga adalah hal yang bisa dan biasa lakukan. Membatasi diri dari keluarga toksik adalah sebuah pilihan. Sebab sebuah keluarga tidak hanya terbentuk dari darah dan rahim yang sama, blood can be thicker than water, but only if it flows both ways.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com