Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Konten Viral Tenaga Kesehatan dan Kode Etik di Media Sosial

Kompas.com - Diperbarui 27/02/2023, 08:23 WIB
Sekar Langit Nariswari,
Lusia Kus Anna

Tim Redaksi

Riset tahun 2017 dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia menyebutkan masalah etik di media sosial dikarenakan pelanggaran privasi pasien, ketidakjelasan hubungan dokter dan pasien, serta pencemaran reputasi profesi.

Adapula permasalahan berupa kualitas dan tingkat kepercayaan informasi yang kurang terjamin dan pelanggaran aspek hukum.

Meski demikian, para dokter diharapkan menggunakan media sosial secara bijaksana dengan
mempertimbangkan aspek-aspek etik yang termuat dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI).

Aturan tersebut mengutamakan profesionalisme, keterangan dan pendapat yang valid, kejujuran, kebajikan sejawat, serta rahasia jabatan.

Baca juga: Polisi Virtual Sudah Kirim Peringatan ke 200 Akun di Media Sosial

Aturan Penggunaan Media Sosial Nakes di Eropa

Berbeda dari Indonesia, tenaga kesehatan khususnya dokter di Eropa sudah memiliki ketetapan jelas. Aturan ini disebutkan oleh General Medical Council (GMC) dalam publikasi berjudul "Doctor's use of social media" yang diterbitkan pada 2013 lalu.

GMC menegaskan dokter untuk menjaga batasan dengan pasien, menjaga kerahasiaan rekam medis dan informasi pribadi pasien, menghindari pencemaran nama baik dan menjaga rasa hormat terhadap sejawat.

Untuk itu, dokter disarankan memiliki dua akun media sosial yang berbeda. Satu dipakai sebagai pemberi edukasi kesehataan berkenaan dengan profesinya sebagai nakes.

Informasi yang disampaikan harus dipilih agar tepat sasaran dan tidak  menggangu privasi pasien. Disarankan untuk memilih jenis media sosial dengan ekripsi yang baik agar informasi yang disebarkan tepat sasaran.

Baca juga: Mudahnya Mengakali Batasan Umur di Media Sosial

Sedangkan satu akun lagi terpisah yang bebas berisikan ekspresi pribadinya di luar profesi. Hanya saja, dokter harus menolak pertemanan dari pasien di akun pribadi ini.

Agar tidak melanggar kode etik di dunia maya, diperlukan aturan privasi pegawai dan pasien di layanan kesehatan.

Tujuannya untuk mengetahui siapa saja yang mengakses konten yang dibuat atau disimpan oleh dokter.

Dokter juga juga harus waspada dengan sistem keamanan media sosial yang dipakainya karena kekhawatiran dapat membuka data kerahasiaan pasien.

Batasan hubungan dokter dan pasien juga dibutuhkan, misalnya dengan menolak pertemanan di akun pribadi dan membatasi pertemanan di akun profesi.

Jika mengupas contoh kasus tertentu, dokter harus merahasiakan data pasien dengan menghilangkan identitas dan meminta persetujuan yang bersangkutan.

Baca juga: 5 Tanda Kita Butuh Jeda Media Sosial

Hal ini erat kaitannya dengan risiko pencemaran nama baik yang mungkin menimpa dokter tersebut.

Untuk ini pula, nakes perlu berhati-hati ketika beropini soal rekan sejawat, pegawau, fasilitas kesehatan atau birokrasi kesehatan.

Penekanan lainnya, berdasarkan acuan GMC, dokter hanya boleh beriklan secara online dengan menjunjung kejujuran sepenuhnya.

Promosi diri hanya bisa dilakukan berdasarkan informasi yang terpercaya, akurat dan relevan. Dikatakan pula dokter tidak diperkenankan menggunakan testimoni pasien untuk mempromosikan diri.

Tujuannya agar tidak ada konflik kepentingan yang bisa mencoreng nama baik profesi ini.

Baca juga: Ini Kemungkinan Penyebab Rendahnya Etika Bersosial Media Netizen Indonesia

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com