Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Berkeluarga Tanpa Edukasi: Mimpi Ngeri Masalah Gizi

Kompas.com - 19/04/2021, 08:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Generasi angkatan saya, banyak yang sudah jadi nenek muda. Punya cucu baru satu, dengan tumpahan kasih sayang lebih dibandingkan ketika punya anak sendiri jaman dahulu.

Kelihatannya menyenangkan bagi ayah dan ibu yang masih berusia di pertengahan dua puluhan, saat sang nenek ikut mengasuh dan (lumayan) bisa menjaga si bayi, selagi orangtuanya bekerja.

Tapi dengan berjalannya waktu, kenyataan berbeda dengan harapan. Konflik pertama muncul ketika nenek melihat ibu pontang-panting bekerja sambil menyusui di rumah dan sibuk memompa ASI, menjaga agar ASI tetap tersedia.

Baca juga: MPASI ala Generasi Dapur Ngawur

Sementara nenek kerepotan memberi ASI perah yang katanya tidak boleh pakai dot – sementara di medsos bersliweran iklan susu formula yang menjanjikan anak jadi juara.

Ibu yang telah bertekad memberi ASI hingga 2 tahun bersikeras hingga akhirnya stres dan ASI-nya kian menyusut.

Konflik pertama belum selesai, muncul konflik ke dua: pilihan makanan pendamping ASI. Ketika ibu baru belajar dengan sungguh-sungguh tentang bahan-bahan terpilih untuk menyusun MPASI berkualitas, nenek muda lebih memilih sesuatu yang praktis.

Bahkan kata produsennya, sudah teruji komposisi dan persisi dosis sesuai pertumbuhan bayi – yang diakui bahkan dianjurkan para spesialis anak.

Produk yang dipasarkan dengan begitu masif dan gemerlap, menghadirkan tokoh-tokoh prominen masyarakat – yang sama sekali tidak ada ketika sang nenek mengasuh bayinya sendiri sekian puluh tahun lalu.

Konflik ketiga muncul, ketika bayi yang tadinya lahap makan tiba-tiba bikin aksi baru: melepeh, menepis, bahkan menangis kencang saat baru lihat sendok.

Hal yang sama sekali tak terbayangkan saat lamaran digelar. Dan mungkin saat itu sambil tersipu malu, sang pengantin bilang mau punya anak sebanyak mungkin.

Dengan prahara drama yang tak kunjung usai, saat imunisasi dan penimbangan, sang ibu muda mendapat ultimatum dokter anaknya: bulan depan berat badan anak harus naik sekian ons.

Ketika nenek tidak bisa diandalkan sebagai tempat bertanya, sang ibu yang kelelahan mulai bergerilya dengan jelajah media sosial dan dunia maya.

Baca juga: Ketika Keterampilan Hidup Akan Menjadi Gaya Hidup

Ilustrasi anak makan sayurSHUTTERSTOCK/Mcimage Ilustrasi anak makan sayur

Isu stunting semakin membuat stres dan perburuan resep ‘booster ASI’ berkembang menjadi ‘booster berat badan bayi’.

Alhasil bayi menjadi target pencapaian prestasi. Sang nenek terperangah ketika ibu muda sibuk mengumpulkan salmon, berbagai mentega dan keju, serta membanjur bubur dengan minyak zaitun.

Alih-alih menambah berat badan, bayi justru teriak makin keras. Belum lagi episode sembelit dan tidak buang air berhari-hari hingga harus berlangganan obat pencahar di usia baru beberapa bulan.

Belum cukup siksaan dan deraan yang harus ditanggung, dengan pengetahuan ‘lemak tambahan membuat berat badan melonjak’, kini bermunculan bayi yang semakin kurus karena pola dan proporsi MPASI-nya mirip diet ketogenik, miskin sayur dan buah pula, karena dianggap tidak berguna dan biang keladi sembelit.

Baca juga: Dipaksa, Terpaksa, Lalu Bisa, Kemudian Biasa hingga Jadi Budaya

Semua paragraf di atas hanya kumpulan dari sekian banyak kengerian ‘cerita masa kini’, yang dialami keluarga muda dengan literasi gizi dan pola pengasuhan anak amburadul di masa bonus demografi – yang semestinya memberi Indonesia tenaga kerja usia produktif, bukan konsumtif destruktif.

Membangun keluarga baru, dikira sebagian besar orang cukup dengan meniru artis dan selebgram yang perkawinannya heboh diliput sana sini.

Mempertontonkan asesori ketimbang esensi. Seakan-akan menjadi tolok ukur perhelatan sukses itu seperti apa.

Sementara itu ada yang tidak pernah diliput, yaitu kursus calon pengantin – hal penting yang semestinya menjadi ‘kurikulum utama’ calon ayah dan ibu.

Sekolah yang tak pernah ada gedungnya, tapi semua lembaga yang mengesahkan perkawinan sudah punya garis besar edukasi yang seharusnya mendapat perhatian, bahkan pembaharuan.

Pasangan muda yang dimabuk cinta mengira menyusui anak itu otomatis, seperti gambar-gambar indah di poster.

Padahal, manusia berbeda dengan makhluk lain yang mengandalkan insting atau naluri.

Menyusui anak butuh edukasi. Bahkan ada kelas dan konselornya. Pun dot tidak bisa disamakan dengan puting ibu.

Memberi makan bayi juga butuh edukasi. Sebab bayi itu tumbuh. Sehingga, makanannya pun harus ‘tumbuh’.

Bukan menunya. Tapi teksturnya, kekentalannya, perubahannya saat bayi tumbuh gigi dan sariawan, kebutuhan bayi pegang kendali atas makanan sebagai stimulasi oromotor – hal yang terlalu penting untuk dilewatkan para calon orangtua.

Justru yang terjadi saat ini, jika bayi tidak mau makan, yang disalahkan makanannya! Alhasil ibu berburu resep, bukan konsep.

Para orangtua baru mengira 1001 resep makanan bayi bisa membuat bayinya mangap lahap. Padahal bayi tidak butuh bumbu, apalagi aneka gorengan yang diasumsikan orangtuanya ‘enak’.

Baca juga: Sampai Kapan Manusia Bertahan Makan Seadanya?

Ilustrasi memasakchabybucko Ilustrasi memasak

Mewakili persepsi anak dengan cara pandang dewasa, sudah dikritisi banyak ahli gizi masyarakat dan pakar perilaku.

Salah satu publikasi Bristish Medical Journal yang ditulis oleh Russell dan kawan-kawan, membahas imbas pengalaman masa kanak-kanak dan kesehatan di masa dewasa, sehubungan dengan perilaku makan dan kesukaan.

Disebutkan asupan sayur dan buah harian sejak usia dini berkaitan dengan turunnya risiko penyakit tidak menular, sebaliknya istilah makanan ‘enak’ didapat karena pembiasaan dan pendidikan, karena mempunyai korelasi terhadap obesitas dan perilaku pola makan yang buruk.

Edukasi yang jauh dari cukup, membuat para orangtua baru terjebak dengan iklan dan iming-iming kepraktisan.

Baca juga: Bhineka Literasi Nutrisi Jadi Ancaman Integrasi

Betapa ngerinya tanah air yang kaya raya begini, lalu hasil bumi dan kekayaan lautnya hanya dikeruk industri menjadi makanan cepat saji dalam kemasan: produk ultra proses.

Sementara rakyatnya miskin literasi, bahkan gadis sekarang kebingungan bagaimana caranya memeras kelapa menjadi santan.

Dan akhirnya, memeras santan sendiri dianggap konyol, karena sudah ada yang instan di rak mini market, anti basi anti repot.

Negara maju semestinya maju di semua bidang. Termasuk nalar yang mumpuni untuk memelihara kehidupan dan kelanggengan keturunan.

Menjadi suatu kekonyolan tragis, jika orang di luar sana mampu membuat makanan tradisional kita dengan ahli dari bahan asli yang sehat, sementara rakyat kita lebih memilih kepraktisan produk kemasan dan menganggap mencampur produk di dapur sebagai memasak.

Kekuatan pentahelix yang digadang-gadang pemerintah sebagai pemutus lingkaran setan stunting, seharusnya saling terhubung dengan pengaruh dan kolaborasi yang sama kuat antara media, akademisi/profesi, masyarakat, pelaku usaha dan pemerintah itu sendiri.

Jika ada salah satu dari kelima kekuatan itu mendapat perlakuan ‘khusus’ dan kebebasan tanpa kendali bahkan ekspansi kepentingan, maka masyarakat akan menjadi korban.

Akibatnya bukan sekarang, tapi nanti sekian puluh tahun kemudian, dimana kita berada pada titik yang tak kenal kata berbalik.

Baca juga: Ketika Bukan Orang Kesehatan Bicara soal Kesehatan

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com