Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Untar untuk Indonesia
Akademisi

Platform akademisi Universitas Tarumanagara guna menyebarluaskan atau diseminasi hasil riset terkini kepada khalayak luas untuk membangun Indonesia yang lebih baik.

Etika dan Komunikasi ala Kartini di Era Digital

Kompas.com - 21/04/2021, 16:24 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
Editor Wisnubrata

Oleh: Dra Paula Tjatoerwidya Anggarina, MM

SIAPAKAH yang tidak mengenal sosok RA Kartini, yang hari kelahirannya setiap tanggal 21 April diperingati oleh masyarakat Indonesia?

Diangkatnya RA Kartini sebagai pahlawan Nasional tidak lepas dari perjuangannya dalam menegakkan emansipasi yang disuarakan melalui surat kepada para sahabatnya di Eropa.

Kartini mengemas dan merangkai tulisan dalam suratnya untuk menyuarakan segala hal yang dia rasakan, tidak hanya menyangkut dirinya, melainkan juga kondisi sosial budaya masyarakat.

Kartini berusaha mengangkat derajat kaum perempuan yang belum mendapatkan pendidikan, tradisi pingitan bagi perempuan, poligami dan adat-adat pribumi yang dianggap merugikan posisi perempuan.

Kumpulan surat yang dikirimkan Kartini untuk melancarkan kritik, menjadi rekaman pemikiran dan gagasan yang dianggap luar biasa.

Menyuarakan pemikiran, pandangan, tanggapan dan lainnya sebagai ungkapan hati melalui surat, sudah menjadi tradisi sejak dulu.

Seorang Kartini mengungkapkan isi hatinya melalui surat, yang kemudian dikumpulkan dan dijadikan sebuah buku berjudul "Habis Gelap Terbitlah Terang."

Bagaimanakah dengan media komunikasi jaman sekarang, apakah tradisi berkirim surat tetap masih ada?

Berkirim surat jaman sekarang, dapat terkirim dan terbalas dengan sangat cepat, hanya dalam hitungan detik.

Jenis media komunikasi dengan sentuhan teknologi modern ini dikenal dengan sebutan electronic mail (email) atau surat elektronik (surel) dalam Bahasa Indonesia.

Ray Tomlinson-lah sebagai orang pertama yang mengirim email di tahun 1971. Tetapi email mulai mendunia serta banyak digunakan pada tahun 1990-an, setelah internet mampu menghubungkan komputer di seluruh dunia dengan menggunakan jaringan telepon (Kompas.com, 2020).

Selain berkomunikasi melalui email, terdapat media komunikasi lain yang sangat populer dan fenomenal.

Komunikasi model baru ini dikenal dengan istilah media sosial, yang sejarahnya bermula pada akhir abad ke-19 (Kompas.com, 2019). Secara karakteristik, media ini sangat berbeda dengan media lama.

Pada media lama, interaktivitas tidak terjalin dan gap diantara pengirim dan penerima pesan sangat terlihat.

Sebaliknya, media baru membawa potensi hubungan yang interaktif diantara pengguna serta membangun hubungan yang setara antara pengirim dan penerima pesan.

Masyarakat dapat segera memberikan opini dan reaksi sesaat setelah kejadian berlangsung, terlepas itu opini positif maupun negatif, serta berita dan informasi yang begitu cepat menyebar dan sangat mudah didapat.

Dengan kepopuleran media sosial sebagai media komunikasi, pengguna media sosial khususnya masyarakat Indonesia, dibuat terkejut dengan adanya pemberitaan yang mengatakan bahwa Netizen Indonesia Paling Tidak Sopan se-Asia Tenggara.

Survei ini mencakup responden remaja dan dewasa, menghasilkan tingkat paling tinggi adalah hoaks dan penipuan, disusul ujaran kebencian, dan yang terakhir diskriminasi.

Riset yang dirilis oleh Microsoft menunjukkan bahwa tingkat kesopanan netizen Indonesia memburuk (Kompas.com, 2021).

Terlepas dari pro dan kontra terhadap hasil riset ini, perlulah bagi para pengguna media sosial berkaca dan instrospeksi diri, apakah benar ungkapan yang disampaikan, memang tidak sopan, dalam arti mengabaikan penggunaan bahasa yang santun serta mengabaikan etika?

Jika melihat sejarah Kartini dalam berkomunikasi, surat-suratnya dikemas dan dirangkai dengan memperhatikan bahasa dalam susunan kata dan kalimatnya.

Dapat disimpulkan bahwa goresan tulisan Kartini sangat santun dan memperhatikan etika, terlebih Kartini adalah seorang keturunan bangsawan Jawa.

Namanya telah menjadi besar dan terkenal dengan rekam jejak positif. Hal inilah yang seharusnya dapat menjadi cerminan bagi generasi jaman sekarang untuk mengekspresikan kebebasan yang disuarakan oleh seorang Kartini dengan tidak kebablasan.

Istilah media sosial tersusun dari dua kata, yakni "media" dan "sosial". "Media" diartikan sebagai alat komunikasi (Laughey, 2007; McQuail, 2003). Adapun "sosial" diartikan sebagai kenyataan sosial di mana setiap individu melakukan aksi yang memberikan kontribusi kepada masyarakat.

Pernyataan ini menegaskan bahwa media dan semua perangkat lunak merupakan "sosial" atau dalam makna keduanya merupakan produk dari proses sosial (Durkheim dalam Fuchs, 2014).

Jadi media sosial adalah alat komunikasi dalam proses sosial yang merupakan platform online untuk membangun jaringan atau hubungan sosial dengan orang lain yang memiliki minat, aktivitas, latar belakang, atau koneksi kehidupan nyata atau pribadi yang serupa.

Media sosial menjadi fenomena media yang digemari masyarakat dunia. Tercatat lebih dari 4,2 miliar manusia di bumi adalah pengguna media sosial (Liputan6.com, 2021). Artinya 50 persen lebih dari total populasi penduduk dunia yang berjumlah 7,83 miliar, adalah pengguna aktif media sosial.

Indonesia sendiri, memiliki 170 juta pengguna media sosial dari total 274,9 juta penduduk Indonesia. Didominasi generasi Y serta Z, rentang usia 25-34 tahun, para kalangan muda ini lebih menyukai WhatsApp, Facebook, Instagram, Tiktok, dan Twitter (Kompas.com, 2021).

Sudah merupakan suatu keniscayaan bahwa media sosial adalah media komunikasi yang sangat fenomenal saat ini.

Kemajuan teknologi komunikasi di era digital, memberi dampak luar biasa dalam kehidupan masyarakat, terlebih lagi di saat pandemi Covid-19 melanda.

Akan tetapi, keberadaan media sosial sebagai media komunikasi, perlu juga diwaspadai. Seperti tertulis di Kompas.id pada peringatan Hari Media Sosial Nasional, 10 Juni 2020, bahwa media sosial punya sisi paradoks memberi manfaat positif sekaligus berdampak negatif.

Pada saat pandemi Covid-19, hoaks bertebaran di media sosial. Namun di kanal ini pula, publik menemukan banyak hal menarik dan inspiratif.

Perkembangan proses berkomunikasi di media sosial, belakangan mengarah pada proses komunikasi yang menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat dan merugikan pihak tertentu.

Tren yang berkembang terlihat dengan begitu mudah orang menumpahkan amarah tanpa memikirkan perasaan orang lain, caci maki atau cyber bullying, saling menghujat, saling mencela, penyumbang pecahnya konflik, memojokkan dan menghakimi orang lain.

Tidak terbatas pada masalah politik dan sosial, juga masalah agama, SARA, bahkan masalah pribadi sekalipun turut meramaikan ruang di media sosial.

Tampak jelas, telah terjadi krisis etika dalam berkomunikasi melalui media sosial. Seluruh pihak pasti sepakat bahwa proses berkomunikasi pada level manapun tak mungkin berjalan tanpa etika.

Tanpa dilandasi etika, praktik bermedia akan mengarah pada kekacauan dan akhirnya masyarakat yang akan menanggung kerugian paling besar.

Media yang seharusnya membantu masyarakat memahami persoalan sosial politik secara jernih dan obyektif, justru jadi ajang persitegangan dan perseteruan tak berujung (Sudibyo, 2016).

Seperti dikatakan Baihaki (2016) bahwa bangsa Indonesia saat ini berada dalam kelimpahruahan informasi, tetapi kualitas literasinya atau melek media, terutama media sosial masih rendah.

Media sosial sebaiknya dapat menjadi wadah proses dialog yang sehat dalam berkomunikasi agar terwujud harmonisasi, memberikan ruang untuk meningkatkan kesejahteraan sebuah komunitas sekaligus menjadi platform diseminasi gagasan secara rasional dan menyejukkan.

Contohlah seorang Kartini yang mampu menuangkan tulisan dengan penggunaan bahasa yang santun dan beretika untuk memberi pengaruh besar dan positif bagi masyarakat dan bangsa Indonesia. Patutlah kita menirunya, terutama saat menuangkan tulisan untuk berkomunikasi di media sosial.

Pada prinsipnya, praktik berkomunikasi di ruang publik dibutuhkan kemampuan pengendalian diri, kedewasaan dalam bersikap, serta tanggung jawab atas setiap ucapan yang hendak atau sedang disampaikan karena rekam jejak para pengguna media sosial, baik itu positif atau negatif tidak akan pernah hilang.

Sebagai bagian dari bangsa Indonesia, tularkan seluas-luasnya komunikasi yang sehat agar menjadikan masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang sopan.

Jokowi berpesan dalam acara dialog Presiden bersama Konten Creator XYZ 2018 di Istana Bogor, "Media yang kita pakai, isilah dengan optimisme. Jangan isi yang hoaks, fitnah, atau saling mencemooh. Itu harus ditinggalkan untuk melompat ke arah yang lebih baik."

Dra Paula Tjatoerwidya Anggarina, MM
Kepala Humas Untar dan Dosen FEB

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com