Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Studi: Remaja yang Jadi Korban Bullying Berfantasi Lakukan Kekerasan

Kompas.com - 30/04/2021, 05:05 WIB
Gading Perkasa,
Wisnubrata

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Anak di usia remaja berada pada masa-masa yang sulit. Kondisi anak yang masih labil dan masalah lain pada anak akan membuat orangtua kesulitan.

Salah satu yang harus diperhatikan orangtua adalah kasus perundungan atau bullying yang marak terjadi pada anak di usia remaja. Jika tidak diatasi, maka bullying dapat berdampak pada mental sekaligus perilaku anak nantinya.

Anak yang mengalami perundungan dan bentuk agresi lain di masa remaja akhir hingga awal masa dewasa berpotensi membayangkan atau berfantasi tentang menyakiti hingga menghilangkan nyawa pelakunya atau orang lain, menurut studi terbaru.

Studi itu dilakukan oleh tim peneliti di University of Cambridge, dan dimuat ke dalam jurnal Aggressive Behavior.

Menurut studi tersebut, anak yang menjadi korban bullying dan agresi lain di akhir masa remaja dan awal masa dewasa dikaitkan dengan peningkatan kemungkinan untuk melamun atau berfantasi tentang menyakiti atau membunuh orang.

Berdasarkan temuan para peneliti, terlihat banyak anak membayangkan tindakan mencelakakan orang lain.

Akan tetapi, hanya sedikit yang diketahui terkait proses di balik fantasi kekerasan yang ada pada anak.

Baca juga: Mari Kenali dan Cegah Bullying Sebelum Menyesal...

Tim yang dipimpin oleh seorang profesor University of Cambridge melacak pemikiran dan pengalaman yang dilaporkan oleh 1.465 anak muda berusia 15, 17, dan 20 tahun dari berbagai sekolah di Zurich, Swiss.

Peneliti mengumpulkan data tentang apakah partisipan memiliki fantasi kekerasan dalam 30 hari terakhir, dan jenis penindasan atau agresi yang dialami partisipan selama 12 bulan terakhir.

Mereka menggunakan kuesioner untuk menyelidiki tingkat agresi seperti penghinaan, pemukulan, atau pembunuhan, dan target yang dibayangkan anak, apakah orang asing atau teman.

Tim peneliti juga menanyakan kepada para partisipan mengenai pengalaman mereka terhadap 23 bentuk perundungan.

Contoh bentuk perundungan yang ditanyakan peneliti mencakup ejekan, serangan fisik dan pelecehan seksual oleh teman sebaya, pola asuh agresif dari orangtua (berteriak dan menampar), serta kekerasan dalam kencan.

Sebagian besar remaja telah menjadi korban setidaknya untuk satu jenis perundungan.

Baca juga: Tipe-Tipe Anak yang Rentan Mengalami Bullying di Sekolah

Sementara itu, mereka yang mengalami serangkaian penganiayaan (lebih dari satu bentuk perundungan) memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk berpikir tentang membunuh, menyerang, atau menghina orang lain.

Anak laki-laki lebih rentan terhadap pemikiran kekerasan secara umum.

Untuk anak laki-laki berusia 17 tahun yang tidak pernah menjadi korban bullying satu tahun sebelumnya, kemungkinan mereka mempunyai fantasi kekerasan dalam 30 hari terakhir adalah 56 persen.

Kemungkinan untuk berfantasi tentang kekerasan meningkat hingga 8 persen pada anak yang mengalami lebih dari satu bentuk perundungan.

Partisipan yang mengaku mengalami lima bentuk perundungan memiliki kecenderungan untuk berfantasi tentang kekerasan sebesar 85 persen.

Sedangkan, pada partisipan yang mengaku mengalami 10 bentuk perundungan, kecenderungan mereka untuk memiliki fantasi kekerasan sebesar 97 persen.

Ilustrasi bullyingshironosov Ilustrasi bullying
Pada partisipan anak perempuan berusia 17 tahun yang tidak pernah mempunyai pengalaman menjadi korban perundungan, mereka cenderung berfantasi tentang kekerasan sebesar 23 persen.

Angka ini meningkat menjadi 59 persen pada anak perempuan yang mengalami lima bentuk perundungan, dan 73 persen pada anak perempuan yang menderita 10 bentuk perundungan.

"Salah satu cara untuk memikirkan fantasi adalah saat otak kita melatih skenario masa depan," kata Prof Manuel Eisner.

Dia adalah director of the violence research di University of Cambridge sekaligus penulis utama studi tersebut.

"Fantasi kekerasan yang meningkat di antara mereka yang mengalami intimidasi atau penganiayaan mungkin menjadi mekanisme psikologis untuk membantu mempersiapkan mereka menghadapi kekerasan yang akan datang."

"Fantasi untuk membalas orang lain memiliki akar dalam sejarah manusia, saat masyarakat jauh lebih keras, dan pembalasan adalah bentuk perlindungan yang penting," tambahnya.

Baca juga: Efek Jangka Panjang Bullying pada Pelaku dan Korban

Menurut Eisner, studi tersebut menggambarkan sejauh mana ide kekerasan yang dimiliki anak-anak di negara yang damai seperti Swiss.

"Sekitar 25 persen anak laki-laki berusia 17 tahun dan 13 persen anak perempuan berusia 17 tahun melaporkan bahwa mereka mempunyai setidaknya satu fantasi untuk membunuh kenalan atau pelaku perundungan mereka selama 30 hari terakhir."

"Pikiran ini mungkin sangat mengganggu bagi mereka yang mengalaminya," jelas Eisner.

Tim peneliti, yang juga termasuk peneliti dari University of Zurich, University of Edinburgh, University of Utrecht, University of Leiden, dan Universidad de la Republica, mengumpulkan dan menganalisis banyak data.

Dengan demikian, para peneliti mampu menyaring dan mengontrol kemungkinan pemicu lain untuk pemikiran kekerasan pada remaja.

Sebagai contoh, peneliti menemukan bahwa status sosial ekonomi sedikit berperan dalam tingkat fantasi kekerasan pada anak remaja.

Studi tersebut juga menunjukkan, peristiwa yang merugikan seperti masalah keuangan atau perceraian orangtua tidak berdampak signifikan.

"Pikiran untuk membunuh orang lain dipicu pengalaman buruk antarpribadi, serangan terhadap identitas pribadi kita, bukan peristiwa yang berbahaya secara umum," kata Eisner.

"Itulah perbedaan antara kondisi yang membuat orang marah dan kesal dengan kondisi yang membuat orang dendam."

Peneliti terus melacak pola fantasi kekerasan pada partisipan remaja sampai partisipan itu beranjak dewasa.

Pemikiran yang ekstrem menurun ketika partisipan berusia 20 tahun. Hanya 14 persen pria dan 5,5 wanita muda yang berpikir untuk membunuh kenalan mereka dalam 30 hari terakhir.

Namun, dampak perundungan terhadap fantasi kekerasan pada anak tidak berkurang ketika anak tumbuh dewasa.

"Studi ini tidak mengkaji apakah ide-ide kekerasan akibat menjadi korban perundungan benar-benar mengarah pada perilaku kekerasan."

"Namun, temuan yang konsisten adalah bahwa korban seringkali menjadi pelaku dan sebaliknya," terang Eisner.

"Fantasi tidak terkendali, dan pembalasan yang ada dalam pikiran kita sering kali sangat tidak proporsional dengan peristiwa yang memicunya."

"Mempelajari mekanisme di balik fantasi kekerasan, terutama di usia muda, dapat mengintervensi anak untuk menghentikan pemikiran obsesif menjadi nyata," tambahnya.

Baca juga: Memulihkan Diri Setelah Jadi Korban Bullying

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com