Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kenali 5 Perilaku Toksik yang Dinormalisasi oleh Masyarakat

Kompas.com - 27/05/2021, 07:46 WIB
Ryan Sara Pratiwi,
Lusia Kus Anna

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Lingkungan masyarakat berpengaruh besar dalam perkembangan individu atau sekumpulan orang. Demikian juga sebaliknya, perilaku individu bisa memengaruhi bagaimana sikap masyarakat.

Kita bisa saja bersikap antusias dan mendorong kebaikan, toleransi, atau bersikap terbuka, sehingga lingkungan masyarakat tempat kita hidup terus berkembang ke arah yang lebih baik.

Namun, tanpa kita sadari ada berbagai perilaku toksik yang justru dianggap normal oleh masyarakat. Apa sajakah?

Baca juga: Ciri-ciri Hubunganmu dengan Orang Terdekat Bersifat Toksik

1. Kecanduan pada amarah

Tidak ada keraguan bahwa kemarahan adalah emosi yang sangat toksik. Kita sering melihat orang menahan amarah dan mudah untuk mengalihkannya ke orang atau topik lain.

Misalnya, kita sedang marah dengan atasan di kantor dan tidak bisa berbuat apa-apa. Jadi, amarah itu kita lampiaskan pada anak,  pasangan, atau orang lain di media sosial.

Apakah amarah itu membantu menyelesaikan masalahnya? Atau kita ingin marah-marah agar terlihat penting dan pintar?

Sangat penting untuk memiliki resiliensi emosi, sehingga sumber amarah itu yang harus kita selesaikan, bukan mengalihkannya. 

Baca juga: Mengapa Kita Marah jika Nama Anak Dicontek Orang Lain?

2. Kekejaman

Kekejaman terhadap hewan maupun sesama manusia sering kita temukan di dalam kehidupan masyarakat.

Kekejaman ini tidak selalu berarti melukai atau menyiksa seseorang secara fisik. Bisa juga mental, emosional, dan juga psikologis.

Tidak memahami masalah orang yang dicintai, mengabaikan kesalahan yang dilakukan terhadap siapa pun, atau diam saat melihat seseorang terluka di jalan adalah bentuk kekejaman yang dinormalisasi.

Padahal, sebagai masyarakat yang hidup saling berdampingan dengan manusia lain, seharusnya kita perlu lebih berempati dan saling menolong.

Baca juga: Anak Gemar Menyiksa Binatang, Kapan Perlu Dikhawatirkan?

Ilustrasi cyberbullying.Shutterstock Ilustrasi cyberbullying.

3. Represi

Menekan ketakutan, ketidakamanan, dan kelemahan kita, lalu memasang wajah kuat, dipandang sebagai tanda kekuatan dalam masyarakat.

Sebagai contoh, ketakutan akan kematian, kesedihan, penuaan, atau penyakit, dianggap sebagai hal ringan.

Ada banyak tabu sosial yang diabaikan dan akhirnya berlalu. Tetapi, pada akhirnya kita tidak berhasil memahami diri sendiri. Jika kita tidak bersikap represi pada emosi yang dialami, kita bisa mulai menerimanya. Tanpa represi, kita bisa lebih mensyukuri hari-hari kita.

Baca juga: Penting, Ajarkan Anak Ekspresikan Emosi Secara Sehat

4. Arogansi kecerdasan seseorang

Sengaja mengabaikan berita atau informasi penting yang berpengaruh pada kita secara langsung atau tidak langsung adalah bentuk arogansi.

Hari demi hari, ribuan orang tenggelam dalam berbagai teori konspirasi, propaganda penyebaran berita palsu, beberapa klaim mistik yang tidak ilmiah, dan yang lainnya.

Tidak mengetahui semua hal memang tidak apa-apa. Tetapi hanya mengetahui satu hal dan sepenuhnya menolak yang lain atau hanya mau membaca kebenaran versi kita, tidak akan membuat kita lebih maju.

5. Pengetahuan yang dangkal

Dunia yang serba cepat mengubah cara kita memerlakukan orang lain dan cara berpikir. Rasa takut ketinggalan (fear of missing out) kini dianggap masalah besar.

Jadi, untuk tidak melewatkan apa pun, orang terpaksa memiliki pengetahuan yang dangkal tentang sepuluh hal daripada memiliki pengetahuan yang mendalam tentang satu hal tertentu.

Selain itu, dengan penyebaran berita yang cepat di media sosial, pengetahuan tentang hiburan dan hal-hal receh telah mengambil alih informasi penting yang sebenarnya.

Baca juga: Hidup Tenang Terbebas dari Sindrom FOMO

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com