Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Pentahelix: Masihkah Relevan untuk Edukasi Gizi?

Kompas.com - 31/05/2021, 08:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Baru-baru saja Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) merilis kontak hubung yang menampung laporan pelanggaran pemasaran susu pengganti ASI dan turunannya.

Ini adalah hal yang amat menyedihkan mengingat kita punya Undang-undang kesehatan yang secara khusus menyebut perlindungan proses menyusui (UU No. 36/2009 pasal 200-201), Peraturan pemerintah yang secara khusus melarang keterlibatan tenaga kesehatan dalam promosi susu formula (PP No.33/2012 pasal 17) dan Permenkes yang secara rinci meregulasi peraturan-peraturan itu (Permenkes No.15/2014 pasal 2,6,7).

Tidak banyak yang paham, pun para petinggi – bahwa perlindungan proses menyusui ini diatur oleh suatu kode internasional yang sudah berusia 40 tahun, sebagai keputusan dari World Health Assembly.

Baca juga: ASI Eksklusif Bantu Membentuk Sistem Kekebalan Bayi yang Lahir Caesar

Melindungi proses menyusui bukan hanya sekadar himbauan tentang ASI eksklusif dan anjuran menyusui anak hingga usia 2 tahun atau lebih, tapi juga memberi regulasi tegas hal-hal yang dapat mengganggu proses ini berjalan. Gangguan itu tak jauh dari ‘saingan’ ASI sendiri: formula buatan orang.

Begitu hebatnya pekerjaan promosi dan penjualan industri raksasa multinasional dengan omset trilyunan rupia, sehingga mampu membuat ibu-ibu rendah diri dan para orangtua merasa bersalah apabila ‘tidak membelikan’ bayinya susu.

Di lapangan pun, apabila ibu bermasalah memberikan ASI atau bahkan bayinya kurang berat badan di usia yang semestinya masih mendapat ASI eksklusif, susu formula menjadi prioritas jalan pintas.

Tak jarang penganjurnya justru tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan yang tidak dilatih secara kompetensi untuk mampu memperbaiki perlekatan ibu dan bayinya sehingga bayi menyusu optimal, bukan ‘ngempeng’ puting, untuk mampu mendukung gizi ibu yang sedang menyusui agar cukup kalori.

Hal-hal alamiah yang jauh lebih mudah dikerjakan dan masuk akal ketimbang menjahit luka robek atau memasang spiral KB.

Sementara itu bukan lagi rahasia umum, industri rajin berdonasi di balik seminar berembel-embel ‘edukasi’ hingga memberi gratifikasi terang-terangan. Tidak ada pasal yang digubris. Dilecehkan iya. Sebab semua aturan dilanggar.

Mulai dari promosi langsung dengan produk gratis ke konsumen sasaran di tempat umum hingga ‘sponsorship’ di ranah akademik, program kesehatan gizi maupun sosial, dukungan sumbangan peralatan kesehatan hingga donasi di masa pandemi.

Kurang royal apalagi? Siapa yang bisa semurah hati begitu, di jaman serba seret ini?

Bahkan ada ibu-ibu yang habis melahirkan langsung diberi ‘hadiah’ jinjingan lengkap mulai dari ‘susu ibu menyusui’ hingga susu buat bayinya.

Kontradiksi yang ngeri: ibu diberi susu seakan payudaranya langsung berisi penuh untuk bisa menyusui – sementara bayinya diiming-iming formula.

Baca juga: Berkeluarga Tanpa Edukasi: Mimpi Ngeri Masalah Gizi

Ilustrasi ASI perah, air susu ibu, manfaat ASI pada bayi baru lahir.shutterstock Ilustrasi ASI perah, air susu ibu, manfaat ASI pada bayi baru lahir.

Tidak cukup sampai di situ, nomor telepon si ibu bisa berada di tangan orang-orang pemasaran yang berulang kali mengejar mirip penagih hutang.

Begitu kode pemasaran dilanggar, pemasaran silang pun tak terelakkan. Susu formula, susu pertumbuhan, produk makanan bayi kemasan, hingga botol susu dan dot yang membuat bayi bingung puting dan ibunya menangis berhari-hari karena anaknya menolak menyusu langsung.

Sangat ironis melihat fakta ibu memompa air susunya sendiri di rumah, demi bayinya yang hanya mau minum dari botol dan dot.

Melindungi proses menyusui bukan cuma sebatas susu formula lagi. Tapi semua hal yang terkait.

Baca juga: Penuhi Kebutuhan Gizi Anak Selama Pandemi, Apa Tindakan Orangtua?

Iming-iming cara praktis menyelesaikan masalah tanpa perlu berpikir apalagi menunaikan kewajiban sebagai orang tua akhirnya masuk juga ke pangan praktis saat bayinya masuk usia mengonsumsi MPASI.

Makanan pendamping asi yang tidak layak disebut demikian jika yang didampingi sebetulnya susu formula. Pun kerap disalahartikan sebagai makanan ‘pengganti’ ASI ketika jagat maya viral tren MPASI dini.

Tak jarang nakes ikut-ikutan mengutip omongan beberapa spesialis anak yang menyebut MPASI kemasan adalah solusi ibu-ibu yang mau tetap waras.

Seakan-akan belajar menyiapkan makanan sederhana, bagi bayi sendiri yang diambil dari menu keluarga membuat para perempuan tidak waras dan kemana-mana harus mengukur dan menimbang bahan pangan bayinya seperti tukang mas atau ahli gizi karbitan.

Padahal di lapangan bubuk kemasan yang ‘murah meriah’ itu diramaikan berbagai merk dan kasta. Tidak jaminan bayi mangap tanpa melepeh. Belum lagi jika didera sembelit.

Sekali lagi, di masyarakat sekarang ibu-ibu muda ditakut-takuti sayur sebagai penyebab sembelit. Dan buah lebih baik di-skip karena tidak membuat bayi montok.

Demi mengejar figur gembulita, dunia perdagangan pangan bayi diramaikan oleh bermacam pernik botol dan kemasan lucu-lucu berisi aneka minyak, keju dan ‘unsalted butter’.

Suatu fenomena miris dipelajari lewat influencer masa kini, yang sebenarnya hanya para endorser produk.

Buku merah muda panduan nasional “Kesehatan Ibu dan Anak” sama sekali tidak dibaca, teronggok rapi yang hanya dibawa saat bayi imunisasi dan ditimbang.

Dan di buku tersebut sama sekali tidak tertulis berbagai asesori heboh yang dikejar ibu-ibu muda sampai di pelosok Kalimantan dan desa pesisir Jawa ‘demi bayinya sehat dan gemuk’.

Faktanya, alih-alih bayinya sungguhan berbobot cukup, anemia dan tinggi badan tak terkejar tetap menghantui.

Sudah terlalu runyam carut marut masalah di atas, yang membuat Indonesia semakin sulit mengatasi gizi buruk dan stunting.

Baca juga: ASI dan Menjaga Jarak Kehamilan, Cara Efektif Cegah Stunting pada Anak

 

Lima stake holders yang dikenal dengan istillah pentahelix, yaitu pemerintah, masyarakat, akademisi/pakar, media dan pelaku dunia usaha pada kenyataannya tidak menempatkan manusia sebagai tujuan pada dirinya.

Melainkan pada kepentingan – yang selalu dipoles dengan jargon-jargon karitatif dan ‘berbasis bukti ilmiah’.

Edukasi masyarakat dan peran media jangan ditanya. Gizi tidak mungkin diajarkan dengan kejujuran dan bebas kepentingan, begitu dibalik setiap edukasi masih ada sponsor industri.

Pakar pun akan gagap menjelaskan dengan keterbukaan ilmu. Karena itu, hampir semua pakar dan profesional akan mencari aman dengan kata-kata sesekali, secukupnya, imbangi dengan sayur dan buah – seakan-akan mengonsumsi produk kemasan apa pun yang tidak sehat atau gorengan bisa ‘dinetralisir’ dengan asupan sayur dan buah.

Baca juga: Ibu Cemas ASI Tidak Cukup? Ketahui Jumlah Kebutuhan Bayi Baru Lahir

Dan kondisi kita kian parah bukannya membaik. Pemahaman yang salah tentang asupan gizi dan kepraktisan hidup membuat negri ini menjadi pemakan kemasan.

Sayur dan buah segar kita diekspor ke negri orang. Begitu pula kita jual berton-ton ikan kembung dan kerapu serta teri yang kalsiumnya melebihi susu. Demi uang. Dan uangnya buat beli susu serta produk kemasan yang dimakan.

Sebab di sekolah tidak diajar apa-apa tentang pangan sehat itu seperti apa. Di keluarga pun anak makan sendiri seperti terisolir, ayah ibunya bukan contoh dan panutan pola makan sehat sesungguhnya.

Sebab ayah ibunya pun buta soal gizi. Mereka belajar lewat iklan dan apa kata influencer di media sosial.

Sudah tidak pantas lagi dan amat memalukan, jika orang tua bekerja lembur ‘buat beli susunya anak-anak’.

Mari kita letakkan aturan di tempat semestinya. Bahwa susu formula adalah susu khusus yang dihitung dengan rumus. Buat kebutuhan khusus. Karenanya perlu resep dokter.

Begitu pula MPASI kemasan diperlukan di saat yang tak terelakkan, bukan karena ibunya memilih pekerjaan sampingan lalu pangan keluarga terabaikan.

Baca juga: Demi Kesehatan, Tingkatkan Kupasan dan Tinggalkan Kemasan

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com