Pelakunya menggunakan berbagai metode termasuk sumber berita, media sosial, aplikasi yang di-install di ponsel, bahkan hingga situs pemerintah.
Secara umum, ada tiga jenis doxing yakni deanonimisasi, penargetan, dan deligitimasi. Setiap jenis memiliki metode yang berbeda meski tujuannya serupa.
Bagi sebagian orang, hal ini diremehkan hanya sebagai membuka data pribadi ke publik. Padahal efeknya sangat serius termasuk memicu terjadinya kejahatan digital yang lebih parah.
Baca juga: Doxing, Ancaman bagi Pers di Era Digital
Korban bisa dijadikan objek perisakan oleh publik dan menjadi sasaran teror. Selain itu, data pribadi ini juga bisa dipakai untuk peretasan akun perbankan, kartu kredit, phising, dan kejahatan lainnya.
Karena itu, kita dianjurkan agar bisa melindungi diri dari doxing agar tak terjebak sebagai korbannya.
Doxing adalah jenis perilaku ilegal yang relatif baru bagi sebagian besar orang. Banyak yang kebingungan harus melakukan apa ketika menyadari menjadi korbannya.
Karena tidak mendapatkan pertolongan yang tepat, efeknya bisa merujuk hal yang lebih buruk.
Wisnu M Adiputra, pakar komunikasi digital dari Universitas Gadjah Mada menyarankan segera melapor ke polisi jika merasa menjadi korban tindakan ini.
"Mestinya negara lewat aparat hukum melindungi informasi privat warga utk dilindungi," kata dia kepada Kompas.com, Senin (31/05/2021).
Hal tersebut bisa menjadi pelanggaran di ranah UU ITE meski tidak tertera secara jelas. Karena itu dibutuhkan RUU Perlindungan Data Pribadi untuk menjamin data warga negara.
Baca juga: Ramai soal Kasus Eiger dan Mengenal Apa Itu Doxing...
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.