Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengapa Korban Pelecehan Seksual Butuh Waktu Lama untuk "Speak Up"?

Kompas.com - 09/06/2021, 12:09 WIB
Sekar Langit Nariswari,
Lusia Kus Anna

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Jagad Twitter dihebohkan dengan kabar presenter Gofar Hilman yang dituding melakukan pelecehan seksual hampir tiga tahun yang lalu.

Tuduhan itu dilontarkan oleh akun @quweenjojo yang membagikan pengalaman tidak menyenangan yang dialaminya itu.

Menurutnya, hal itu terjadi pada Agustus 2018 lalu dalam salah satu acara yang menjadikan Gofar sebagai salah satu bintang tamu.

Ia mengaku berniat merekam jalannya acara untuk keperluan Instagram miliknya namun tiba-tiba ditarik dan dirangkul tanpa izin. Meski terkejut, ia memahaminya sebagai sikap ramah dan humble.

Sayangnya,  tindakan itu berlanjut sebagaiaman dijelaskannya dalam cuitan berikut ini,

"Setelah selesai rekam video bareng dia, tangan dia tiba-tiba peluk gue dari belakang. Gue mulai bingung harus gimana karena pelukannya kok kenceng banget? Gue pakai dress selutut, tangan Gofar tiba-tiba masuk ke baju gue. Satu tangan dari atas, satu lagi dari bawah. Gue shock."

Baca juga: Sikapi Pelecehan Seksual pada Perempuan dengan Metode 5D

Sampai tulisan ini dibuat, cuitan tersebut telah mendapat 18.000 retweet yang menjadikan nama Gofar trending topik di Twitter.

Tuduhan ini sebenarnya juga telah dibantah secara langsung oleh Gofar Hilman melalui akunnya, @pergijauh. Ia mengakui bersalah karena tidak meminta persetujuan ketika akan merangkul korban.

Namun, ia yakin tidak melakukan pelecehan seperti yang karena terus didampingi oleh asistennya dan panitia acara.

"Untuk masalah tuduhan pelecehan, di sini gue yakin tidak melakukan hal itu, ada dua orang yang dampingin gue saat itu, 1 orang cewek panitia dan 1 orang cowok asisten gue, mereka yang jagain gue sampe masuk mobil di akhir acara."

Meski demikian, ia siap menyelesaikannya secara hukum agar semua pihak mendapatkan hasil yang adil. Terlebih, menurutnya, hal ini melibatkan fitnah yang menggunakan namanya.

Baca juga: 6 Cara Kenali Beda antara Pujian dan Pelecehan

Alasan butuh waktu lama untuk speak up

Pemilik akun @quweenjojo mengaku mengalami pelecehan seksual pada Agustus 2018 lalu. Namun ia baru berani mengumpulkan keberanian untuk speak up pada 2021, nyaris tiga tahun setelahnya.

Rentang waktu ini jelas sangat panjang, membuktikan stigma bahwa korban pelecehan selalu kesulitan untuk bicara soal pengalaman buruknya.

Akun @quweenjojo juga mengaku pernah mencoba bicara ke publik soal kasusnya lewat Instagram namun mendapatkan respon yang mengecewakan. Beberapa kenalannya bahkan menyalahkan pembawaannya yang dianggap terlalu 'hot'.

Baca juga: Psychotic Break, Gangguan Mental Lady Gaga Pasca Jadi Korban Perkosaan

Pola tersebut kerap ditemui dalam sejumlah kasus pelecehan seksual yang terkuak ke publik. Korban cenderung disudutkan dengan pakaian, perilaku, gaya hidup atau aspek lain yang tidak relevan.

Pengakuan yang merujuk pada peristiwa yang sudah cukup lama juga rentang dituding tidak benar dan sekedar fitnah belaka.

Banyak yang mempertanyakan, jika hal itu benar-benar terjadi maka apa alasannya untuk tidak segera melaporkannya ke pihak berwajib.

Menanggapi hal ini, Yolanda Moses, profesor antropologi di University of California punya pendapat yang jelas. "Hanya karena korban tidak segera melapor tentang kekerasan seksual bukan berarti tuduhan itu tidak benar," ujarnya.

Baca juga: Mengapa Kita Membutuhkan Undang Undang untuk Melawan Kekerasan Seksual?

Korban kerap disalahkan

Masyarakat cenderung menyalahkan korban, khususnya perempuan, sehingga banyak yang ragu mengakui pengalamannya. Seringkali korban dituduh melakukan fitnah untuk merusak hidup dan reputasi pria yang melakukan pelecehan.

Contoh seperti ini menunjukkan bahwa masih ada sifat yang tidak seimbang dalam masyarakat kita dan bahwa perempuan direndahkan, kata Moses.

Ada juga anggapan lawas yang berpendapat 'perempuan baik tidak diperkosa' yang membuat korban cenderung menyalahkan dirinya sendiri.

Selain itu, orang akan mulai mengajukan pertanyaan tendensius seperti 'Mengapa ada di tempat seperti itu?' atau 'Mengapa bergaul dengan orang seperti itu?'. Pertanyaan itu seperti mengalihkan kesalahan kepada korban.

Baca juga: Gofar Hilman: Minta Maaf kepada Semua Pihak yang Tak Nyaman Gue Rangkul

Alasan lainnya, Moses berpendapat upaya speak up bisa memicu kenangan yang menyakitkan dan menyebabkan rasa malu pribadi.

"Seseorang mungkin tidak ingin menghidupkan kembali pengalaman itu," tambahnya.

Seringkali korban harus mereka ulang pelecahan yang dialaminya, yang tentunya bisa menjadi pengalaman mengerikan. Khususnya ketika orang-orang yang mendengarnya malah tidak percaya kepada korban.

Terlebih lagi jika pelakunya adalah orang terkenal, orang yang berkuasa di masyarakat atau di hidup mereka. Alih-alih bicara terbuka, korban memilih untuk diam dan berkutat dengan permasalahan serta trauma yang dialaminya sendiri.

Baca juga: Banyak Remaja Perempuan Tidak Sadar Jadi Korban Kekerasan Seksual

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com