KOMPAS.com - Banyak orang menjadi korban pelecehan ataupun kekerasan seksual, tetapi tidak berani bertindak.
Salah satu sebabnya adalah persepsi masyarakat yang sering menganggap bahwa pelecehan terjadi karena korban terlalu seksi, memancing, atau tidak berusaha menghindar.
Salah satu contohnya adalah apa yang dialami pemilik akun @quweenjojo, yang mengaku mengalami pelecehan seksual pada Agustus 2018.
Ia baru berani untuk speak up pada 2021, nyaris tiga tahun setelahnya. Rentang waktu ini jelas sangat panjang, membuktikan stigma bahwa korban pelecehan selalu kesulitan untuk bicara soal pengalaman buruknya.
Akun @quweenjojo juga mengaku pernah mencoba bicara ke publik soal kasusnya lewat Instagra, tetapi mendapatkan respons yang mengecewakan. Beberapa kenalannya bahkan menyalahkan pembawaannya yang dianggap terlalu 'hot'.
Pola tersebut kerap ditemui dalam sejumlah kasus pelecehan seksual yang terkuak ke publik. Korban cenderung disudutkan dengan pakaian, perilaku, gaya hidup, atau aspek lain yang tidak relevan.
Masalah lain yang dihadapi para korban pelecehan di Indonesia adalah kurang kuatnya perlindungan hukum terhadap kasus-kasus seperti ini, di mana korban sering kali malah dipojokkan dan dianggap mencemarkan nama baik atau mengada-ada.
Baca juga: Sikapi Pelecehan Seksual pada Perempuan dengan Metode 5D
Lalu, sembari menunggu payung hukum yang kuat, apa yang bisa dilakukan jika mengalami pelecehan atau kekerasan seksual?
Dalam Kampanye No! Go! Tell! (Katakan Tidak, Jauhi, Laporkan!) yang diprakarsai The Body Shop Indonesia, ada tiga mekanisme yang bisa dilakukan korban atau calon korban pelecehan:
Suzy Hutomo, Owner & Executive Chairperson The Body Shop Indonesia, mengatakan, “Kampanye ini merupakan lanjutan dari kampanye Stop Sexual Violence. Di tahap kedua ini, kami ingin fokus pada edukasi dan tindak pencegahan kekerasan seksual melalui
mekanisme dasar, No! Go! Tell!."
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.