Cakupan imunisasi bayi kian melorot, terjun bebas – selain stok kosong di fasilitas kesehatan umum milik pemerintah (kecuali praktek swasta berbayar) – juga adanya pemahaman keliru, bahwa bayi tidak perlu divaksinasi, karena ASI sudah mengandung antibodi.
Sebab pada kasus Covid 19, ibunya divaksinasi, bayinya mendapat ‘bonus’ antibodi di ASI.
Namun, awam tidak cukup kritis untuk berpikir bahwa kekebalan spesifik terhadap TBC, Polio, Difteri, Tetanus, Hepatitis, Campak tidak ada dalam ASI – harus bayinya sendiri yang divaksinasi.
Kisah vaksinasi kian kisruh saat orang-orang yang telah ‘lengkap’ dua kali divaksinasi Covid 19 ternyata banyak yang bertumbangan pada akhirnya – seakan-akan vaksinasi adalah proyek gagal.
Sekali lagi, informasi tentang makna kekebalan kelompok alias herd immunity tidak tersampaikan dengan baik.
Baca juga: Pulih dari Pandemi: Saatnya Berubah atau Punah
Dalam kekalutan pandemi, orang cenderung menjadi individualistik di saat pertahanan diri dipertaruhkan.
Hanya segelintir orang yang bisa memahami pentingnya protokol kesehatan dijaga ketat hingga 70% populasi mendapat kekebalan.
Kebanyakan justru mengandaikan vaksinasi itu seperti baju besi dan tonikum ampuh penangkal virus begitu disuntikkan ke tubuh orang.
“Toh seandainya terinfeksi, gejalanya ringan” – kalimat itu saja yang menancap di benak. Lupa bahwa tubuh yang terinfeksi menjadi sarana penularan besar-besaran bagi orang lain, yaitu elompok rentan yang belum ada penatalaksanaan vaksinasinya, seperti bayi hingga remaja dan orang-orang dengan masalah kesehatan berat.
Apabila istilah ‘percobaan pembunuhan berantai’ dirasa terlalu sadis dan kasar, maka kita perlu menggunakan kata ‘egoisme’ individu yang hanya memikirkan kepentingan diri sendiri.
Pengkinian data yang terlambat dan keengganan tenaga kesehatan untuk selalu mengoreksi prosedur juga menuai korban, berapa banyak ibu-ibu menyusui yang akhirnya membatalkan diri ikut antrean vaksinasi, akibat ditakut-takuti tidak bisa memberi ASI ke bayinya untuk sekian minggu.
Minimnya literasi, mengandaikan vaksinasi ibarat menyuntikkan virus utuh yang dilemahkan dengan risiko si virus bisa lolos ke dalam ASI dan menginfeksi bayinya.
Mengerikan sekali apabila pemahaman yang benar tentang ‘isi cairan vaksinasi’ itu, simpang siur dengan narasi animasi kekanak-kanakan.
Istilah fragmen termodifikasi glikoprotein virus saja tidak dipahami, maka tak heran kisah fiksi tentang penanaman ‘chip’ pada manusia saat vaksinasi hingga isu pelarut beracun masih beredar masif meracuni kewarasan rakyat jelata.
Alhasil hantaman gelombang pandemi ini begitu beratnya di negri kita, menyisakan bayi dan anak kehilangan orangtua, atau jika orangtuanya masih ada pun kehilangan pekerjaan – sehingga kemampuan membeli pangan sehat tidak ada lagi.
Para ibu muda, di pertengahan usia 20an, mengutip kata yang sering mereka gunakan: insecure – dengan apa yang mereka ketahui.
Kedekatan dengan medsos ibarat pseudo-ensiklopedia yang seakan-akan membuat mereka ‘tahu akan segala sesuatunya’ – walaupun tingkat kebenarannya dipertanyakan.
Begitu pula medsos, menjadi buku panduan pemberian makan bayi dan anak sekaligus wadah orang berjualan atau menyebarkan faham-faham ngawur.
Baca juga: Berkeluarga Tanpa Edukasi: Mimpi Ngeri Masalah Gizi