Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Ngeri Pandemi Menghantui Masa Depan Bayi

Kompas.com - 28/06/2021, 20:49 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Beberapa minggu terakhir ini kita didera habis-habisan dengan melonjaknya kasus penularan dan angka kematian akibat Covid 19.

Istilah tracing atau merunut kontak erat rasanya sudah amat sulit dan klaster berubah dari kelompok kerumunan menjadi keluarga.

Tanpa ampun anak di bawah umur hingga bayi yang masih menyusu eksklusif menjadi korban penularan orang dewasa yang merasa ‘baik-baik saja’.

Banyak orangtua panik mengetahui anak-anaknya terjangkit dan bingung harus berbuat apa. Amat menular sekaligus berisiko fatal – membuat berbagai informasi dunia maya kian ricuh – seriuh geliat kesempatan berdagang mengambil momen yang pas.

Dimulai dari kontraksi persalinan seorang ibu yang terduga positif Covid 19, Inisiasi Menyusu Dini sebagaimana dianjurkan oleh akun resmi pemerintah www.covid19.go.id faktanya tidak dijalankan rumah sakit.

Baca juga: Belajar dari Vaksinasi BCG: Tak Ada Satu Jurus Jitu Buat Sehat

Alih-alih bayi diizinkan disusui ibunya, sang ibu hanya bisa melihat bayinya diambil, dipisahkan dan ASI pertama kaya kolostrum dibuang.

Bahkan, rumah sakit tidak mengizinkan sang ibu memompa ASI dan mengirimkannya ke kamar bayi.

Kemarahan berbalut kecewa, saat susu formula justru mendapat peluang ambil untung di saat-saat yang paling menentukan keberhasilan menyusui selanjutnya.

Puncak emosi meledak saat hasil tes usap ibu keluar dan terbukti sang ibu negatif – alias tidak mengidap SARS Covid 19.

Rumah sakit tidak memahami perjuangan selanjutnya: saat bayi di rumah menolak menyusu langsung pada payudara ibunya.

Ada beberapa ibu yang dengan kesabaran luar biasa, berhasil melepaskan bayi dari jerat formula kembali ke proses menyusu yang sebenarnya di gendongan sang ibu.

Di rumah lain, bisa jadi sang ayah dan nenek terlanjur menganggap susu formula adalah yang terbaik. Dan sejak dari rumah sakit, bayi tidak pernah kenal ASI ibunya yang menetes deras terbuang percuma setiap hari.

Belum cukup anjloknya cakupan IMD dan menyusu eksklusif, bayi masih menjadi korban dari ketakutan orangtua akan risiko tertular Covid-19 saat membawa bayinya imunisasi di fasilitas kesehatan.

Padahal, tanpa keluar rumah pun, sang bayi akhirnya tertular juga dari orang -orang dewasa yang keluar masuk rumah, termasuk ayah sendiri.

Baca juga: Protokol Kesehatan: Antara Jargon dan Guyon

Ilustrasi bayi menangis. Ilustrasi bayi menangis.

Cakupan imunisasi bayi kian melorot, terjun bebas – selain stok kosong di fasilitas kesehatan umum milik pemerintah (kecuali praktek swasta berbayar) – juga adanya pemahaman keliru, bahwa bayi tidak perlu divaksinasi, karena ASI sudah mengandung antibodi.

Sebab pada kasus Covid 19, ibunya divaksinasi, bayinya mendapat ‘bonus’ antibodi di ASI.

Namun, awam tidak cukup kritis untuk berpikir bahwa kekebalan spesifik terhadap TBC, Polio, Difteri, Tetanus, Hepatitis, Campak tidak ada dalam ASI – harus bayinya sendiri yang divaksinasi.

Kisah vaksinasi kian kisruh saat orang-orang yang telah ‘lengkap’ dua kali divaksinasi Covid 19 ternyata banyak yang bertumbangan pada akhirnya – seakan-akan vaksinasi adalah proyek gagal.

Sekali lagi, informasi tentang makna kekebalan kelompok alias herd immunity tidak tersampaikan dengan baik.

Baca juga: Pulih dari Pandemi: Saatnya Berubah atau Punah

Dalam kekalutan pandemi, orang cenderung menjadi individualistik di saat pertahanan diri dipertaruhkan.

Hanya segelintir orang yang bisa memahami pentingnya protokol kesehatan dijaga ketat hingga 70% populasi mendapat kekebalan.

Kebanyakan justru mengandaikan vaksinasi itu seperti baju besi dan tonikum ampuh penangkal virus begitu disuntikkan ke tubuh orang.

“Toh seandainya terinfeksi, gejalanya ringan” – kalimat itu saja yang menancap di benak. Lupa bahwa tubuh yang terinfeksi menjadi sarana penularan besar-besaran bagi orang lain, yaitu elompok rentan yang belum ada penatalaksanaan vaksinasinya, seperti bayi hingga remaja dan orang-orang dengan masalah kesehatan berat.

Apabila istilah ‘percobaan pembunuhan berantai’ dirasa terlalu sadis dan kasar, maka kita perlu menggunakan kata ‘egoisme’ individu yang hanya memikirkan kepentingan diri sendiri.

Pengkinian data yang terlambat dan keengganan tenaga kesehatan untuk selalu mengoreksi prosedur juga menuai korban, berapa banyak ibu-ibu menyusui yang akhirnya membatalkan diri ikut antrean vaksinasi, akibat ditakut-takuti tidak bisa memberi ASI ke bayinya untuk sekian minggu.

Minimnya literasi, mengandaikan vaksinasi ibarat menyuntikkan virus utuh yang dilemahkan dengan risiko si virus bisa lolos ke dalam ASI dan menginfeksi bayinya.

Mengerikan sekali apabila pemahaman yang benar tentang ‘isi cairan vaksinasi’ itu, simpang siur dengan narasi animasi kekanak-kanakan.

Istilah fragmen termodifikasi glikoprotein virus saja tidak dipahami, maka tak heran kisah fiksi tentang penanaman ‘chip’ pada manusia saat vaksinasi hingga isu pelarut beracun masih beredar masif meracuni kewarasan rakyat jelata.

Alhasil hantaman gelombang pandemi ini begitu beratnya di negri kita, menyisakan bayi dan anak kehilangan orangtua, atau jika orangtuanya masih ada pun kehilangan pekerjaan – sehingga kemampuan membeli pangan sehat tidak ada lagi.

Para ibu muda, di pertengahan usia 20an, mengutip kata yang sering mereka gunakan: insecure – dengan apa yang mereka ketahui.

Kedekatan dengan medsos ibarat pseudo-ensiklopedia yang seakan-akan membuat mereka ‘tahu akan segala sesuatunya’ – walaupun tingkat kebenarannya dipertanyakan.

Begitu pula medsos, menjadi buku panduan pemberian makan bayi dan anak sekaligus wadah orang berjualan atau menyebarkan faham-faham ngawur.

Baca juga: Berkeluarga Tanpa Edukasi: Mimpi Ngeri Masalah Gizi

Ilustrasi memasakchabybucko Ilustrasi memasak

Ibu muda masa kini tidak mengerti cara membuat santan, tidak (mau) paham tahapan perkembangan motorik dan sensorik bayi, sehingga memberi makan bayi seperti mengisi bensin tangki motor.

Bahkan ada yang tidak punya kompor. Hanya mengandalkan ‘mejikom’ (magicom alias penanak nasi) buat bikin makanan sehari-hari ala anak kos.

Saat berat badan bayi tidak naik, bayinya tidak mau makan, alih-alih evaluasi, mereka akan ‘nembak’ Anda dengan pertanyaan, jadi solusinya apa? Dan sekali lagi, medsos menjadi andalan.

Ada yang mengajari ilmu kaldu - padahal bayinya butuh protein hewan – hingga ribut mempermasalahkan diet gluten.

Ujung-ujungnya ilmu kepraktisan menjadi juara. Pangan kemasan! Produk yang diandalkan untuk para ibu yang katanya memilih kewarasan. Yang secara tidak langsung menuding para leluhurnya tidak waras, karena zaman itu belum ada kemasan, dan anak-anak mereka di zaman itu tidak stunting.

Di masa pandemi yang menyesakkan ini, bayi-bayi dengan anemia dan diam-diam menderita TBC serta gangguan gizi kronik akibat cara pemberian makan yang salah semakin membuat ngeri.

Dua tahun lagi riset kesehatan dasar 2023 akan dirilis. Apabila kondisi kita masih seperti ini, edukasi berjalan simpang siur, riuh rendah bersahut-sahutan dengan kepentingan-kepentingan yang berusaha menyeruak masuk pintu gerbang kesehatan, tidak tahu lagi data dan diagram seperti apa yang akan disajikan dalam Riskesdas 2023.

Jadi, kalau mau bikin bayi-bayi kita sekadar hidup, gemuk dan tinggi – memang tidak sulit-sulit amat.

Tapi selepas usia remaja, akan ada tagihan hutang pekerjaan rumah yang tertunda, membengkak menjadi hipertensi, obesitas, diabetes usia muda, berbagai jenis gangguan hormonal, hingga kanker.

Yang saat ini sudah dewasa saja membuat jaminan kesehatan nasional terengah-engah. Apalagi ditambah korbannya yang menyusul tak lama lagi. Siapa lagi yang mau jadi kambing hitam kali ini?

Baca juga: MPASI ala Generasi Dapur Ngawur

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com