Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Untar untuk Indonesia
Akademisi

Platform akademisi Universitas Tarumanagara guna menyebarluaskan atau diseminasi hasil riset terkini kepada khalayak luas untuk membangun Indonesia yang lebih baik.

Membentuk Resiliensi untuk Mengurangi Kecemasan

Kompas.com - 29/06/2021, 08:42 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Cindy Stefanie Tanjung dan Naomi Soetikno

KECEMASAN adalah emosi normal yang dialami setiap manusia pada waktu-waktu tertentu.

Banyak orang merasa cemas atau gugup, ketika menghadapi masalah di tempat kerja, sebelum mengikuti ujian, atau ketika harus mengambil keputusan penting.

Kecemasan tidak selalu merupakan hal yang buruk. Bahkan, perasaan cemas dapat memotivasi Anda dan membantu Anda tetap fokus di bawah tekanan.

Namun, ketika seseorang secara terus menerus dan secara tetap merasakan tingkat kecemasan dengan intensitas tinggi, hal itu dapat berati individu mengalami gangguan kecemasan (Tiller, 2013).

Kecemasan adalah reaksi yang normal terhadap situasi yang membuat stres akan tetapi, individu yang memiliki gangguan kecemasan memiliki ketakutan dan kekhawatiran itu tidak bersifat sementara.

Gangguan kecemasan biasanya mengubah cara seseorang memproses emosi, cara berperilaku, dan juga menyebabkan gejala fisik.

Baca juga: Cara Membiasakan Berpikir Positif untuk Mengatasi Kecemasan

Orang dengan gangguan kecemasan memiliki perasaan takut dan ketidakpastian yang mengganggu aktivitas sehari-hari dan berlangsung selama 6 bulan atau lebih.

Kabar baiknya adalah bahwa gangguan kecemasan dapat berkurang jika seseorang memiliki resiliensi.

Resiliensi merupakan kemampuan seseorang untuk menghadapi stres dan tekanan yang dialaminya secara efektif, mengatasi masalah sehari-hari, bangkit kembali dari kekecewaan, kesulitan dan trauma, mengembangkan tujuan yang jelas dan realistik, berinteraksi dengan nyaman dengan orang-orang disekitarnya dan mampu menghargai diri sendiri dan orang lain (Brooks & Goldstein, 2001).

Resiliensi yang dimiliki individu dapat mempengaruhi keberhasilannya dalam beradaptasi pada situasi yang penuh tekanan dengan berbagai risiko dan tantangannya serta membantu individu dalam memecahkan masalah dan mencegah kerentanan pada faktor-faktor yang sama pada masa yang akan datang (Sales & Perez, 2005).

Baca juga: Menjadi Pribadi yang Resilien di Tengah Pandemik Covid-19

Ilustrasi stres.shutterstock Ilustrasi stres.

Menurut Bronfenbenner (dalam Duncan et al., 2005) keluarga sebagai mikrosistem, sebagai lingkungan yang utama dalam perkembangan individu memiliki kontribusi yang besar terhadap pencapaian resiliensi.

Individu yang resilien dikelompokkan ke dalam tujuh ciri, antara lain insight, independence, creativity, humor, initiative, relationships, dan values orientation.

Beberapa penelitian yang dilakukan untuk melihat hubungan resiliensi dan kecemasan menunjukkan hasil bahwa resiliensi secara signifikan berkontribusi dalam menurunkan tingkat kecemasan (Hjemdal et al., 2011; Vick, Sharpley & Peters, 2010; Panchal, Mukherjee & Kumar, 2016).

Baca juga: 5 Cara Meredakan Stres Saat Menghadapi Masalah Berat

Untuk membentuk resiliensi, Anda dapat melakukan hal-hal seperti di bawah ini.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com