Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berhenti Sejenak, Kesehatan Jiwa Perlu Langkah Nyata

Kompas.com - 10/07/2021, 06:00 WIB
Ni Luh Made Pertiwi F.,
Glori K. Wadrianto

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Banjir informasi dari media sosial dan tokoh-tokoh nasional mengenai kesehatan jiwa belakangan ini, membuat kata kunci terkait kesehatan jiwa, -seperti kecemasan, depresi, dan trigger-, menjadi familiar.

Seperti dikutip dari siaran pers dari Sehat Jiwa, pembahasan mengenai kesehatan jiwa umumnya berlandas kacamata kuratif.

Pendekatan tersebut lebih menyorot pada "masalah", "penyakit", "gangguan", serta bagaimana mengatasi kondisi-kondisi yang mengganggu.

Baca juga: Cara Mengatasi Perasaan Insecure di Usia 30 Tahun

Namun, ada sisi dari kesehatan jiwa yang belum terlalu diperhatikan, yaitu sisi preventif. Sederhananya, usaha mencegah munculnya masalah kesehatan jiwa.

Selain itu, juga termasuk dukungan pada orang yang memiliki maupun tidak memiliki masalah kejiwaan untuk bertahan di kondisi yang baik (well-being).

Menurut Nur Ihsanti Amalia, Co-Founder Sehat Jiwa & Mental Health & Community Psychology Practitioner dari @sehatjiwa.id, kesehatan jiwa merupakan sebuah kondisi yang naik turun.

Sehat Jiwa dan Bahagia sendiri merupakan sebuah usaha sosial yang mendasarkan kegiatannya pada pikiran bahwa semua jiwa berharga, berhak untuk bahagia dan bisa berdaya dalam kehidupan.

"Yang perlu diperhatikan, bisa dimulai dari step kecil. Kenali diri sendiri dulu. Apalagi kalau usia milenial adalah usia produktif, kegiatan seabrek, banyak banget, dan banyak yang ingin dicoba."

Demikian penuturan Nur dalam perbincangan "Pentingnya Investasi Kesehatan Jiwa untuk Millennial" di akun Instagram @my.kindoflife, Senin (31/5/2021) lalu.

Baca juga: Usia 30an Rentang Hidup Paling Bahagia, Benarkah?

Usia produktif ini, lanjut Nur, adalah saat tepat menjaga dan berinvestasi pada kesehatan jiwa.

Ia menuturkan, selayaknya kita berusaha mengenali diri sendiri apakah tujuan yang ingin dicapai sudah benar, dan apakah sudah tepat apa yang sudah kita jalankan.

"Dari refleksi itu dulu, kita bisa tahu apa yang harus kita lakukan untuk kesehatan jiwa. Karena apa yang tepat untuk kita belum tentu tepat untuk yang lain," kata dia.

Menurut dia, seseorang saat ingin menggapai ambisinya kerap lupa, seperti sedang berlari sprint.

"Ada banyak tujuan-tujuan yang berusaha kita capai. Tapi lupa untuk berhenti dulu. Tengok ke belakang, yang aku lakukan kemarin sudah tepat lakukan apa gak."

"Sesi berhenti sejenak terlupakan, karena ambisi-ambisi yang ingin dikejar," ungkap Nur.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com