Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 10/07/2021, 18:20 WIB
Ryan Sara Pratiwi,
Glori K. Wadrianto

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Setiap manusia pasti pernah merasakan masa-masa yang sulit. Terlebih, di tengah situasi pandemi Covid-19 yang berkepanjangan seperti sekarang.  

Namun, ketika ada orang-orang yang mampu bangkit dari keterpurukannya dan berusaha menjalani aktivitas sehari-hari, tak sedikit yang tidak bisa mengatasinya.

Imbasnya adalah, mereka terkena masalah kesehatan mental.

Baca juga: Ternyata Resiliensi Orang Indonesia Tergolong Rendah, Apa Artinya?

Nah, di dalam ilmu psikologi, kemampuan orang-orang untuk bisa bangkit kembali dari kondisi yang tidak menyenangkan disebut sebagai resiliensi.

Sayangnya, resiliensi ini bukanlah sesuatu hal yang kita dapatkan sejak dari lahir, melainkan harus diolah atau diasah.

Resiliensi tumbuh baik lewat pengalaman hidup sebelumnya, atau pun melalui kondisi yang kita alami saat ini.

Psikolog dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI), Bagus Takwin, SPsi, MHum mengatakan, resiliensi orang Indonesia di masa pandemi ini tergolong rendah.

Artinya, mereka sulit untuk kembali ke keadaan semula setelah mengalami kejadian sulit yang traumatis.

Mereka cenderung tidak tahan terhadap tekanan, dan pesimistis melihat masa depan ketika mengalami situasi yang menekan.

Baca juga: Membentuk Resiliensi untuk Mengurangi Kecemasan

Ada pun faktor utama penyebab resiliensi orang Indonesia rendah adalah karena menurunnya afek positif atau sesuatu yang membuat mereka merasa senang dan bersemangat.

"Resiliensi rendah bukan karena menderita penyakitnya, tetapi karena orang-orang kehilangan kesenangan, seperti tidak bisa bertemu teman, nongkrong, atau berpergian ke suatu tempat."

Demikian penuturan Bagus saat webinar bersama Fakultas Psikologi UI, Sabtu (10/7/2021).

"Kalau resiliensi rendah ini dibiarkan berkepanjangan akan berdampak buruk bagi masing-masing individu, yang dapat berpengaruh pada aktivitas kehidupannya sehari-hari," lanjut dia.

Maka dari itu, kita harus mengambil tindakan lebih untuk bisa meningkatkan resiliensi dan memperkuat kesehatan mental dalam menghadapi situasi pandemi yang penuh dengan ketidakpastian.

Tips-tipsnya melakukannya

Karena meningkatkan resiliensi itu harus dilakukan dengan usaha, jadi ada beberapa cara yang bisa terapkan sebagai upaya untuk menguatkan diri sendiri.

1. Melakukan aktivitas yang kita sukai

Kehilangan afek positif saat pandemi Covid-19 adalah penyebab utama resiliensi menjadi sangat rendah.

Oleh sebab itu, Bagus merekomendasikan agar kita dapat melakukan aktivitas yang kita sukai untuk mengembalikan afek positif tersebut.

"Misalnya, bagi yang suka berolahraga, menari, memasak, membaca, dan lainnya, sebaiknya itu lakukanlah."

"Dengan begitu, otak kita akan lebih tenang dan tidak menguras energi mental," ungkap dia.

Baca juga: Cara Membiasakan Berpikir Positif untuk Mengatasi Kecemasan

Di samping itu, berolahraga juga dapat mengeluarkan hormon yang membuat kita menjadi lebih senang dan rileks.

2. Memiliki pemikiran yang positif dan berkembang

Menurut psikolog dari Fakultas Psikologi UI, Pudjiati, Msi, orang-orang dengan pemikiran yang positif dan berkembang (growth mindset) itu akan lebih mudah meningkatkan resiliensi.

Sebab, mereka memiliki pemikiran yang lebih optimistis, dan lebih maju agar bisa menghadapi situasi yang sulit.

"Tetapi, itu juga dipengaruhi oleh bagaimana kondisi atau faktor-faktor lain yang mendorong orang bisa resiliensi," ujar dia.

"Karena tidak semua orang bisa resiliensi di semua keadaan, pasti akan terpuruk juga. Namun, berapa lama dia dapat mengatasinya dan bangkit kembali," imbuh dia.

3. Berkomunikasi dengan orang lain

Komunikasi adalah kunci supaya orang-orang dapat meningkatkan resiliensi. Kita bisa melakukan komunikasi kepada keluarga, orang lain, bahkan Tuhan.

Baca juga: Hak Komunikasi Anak dan Tantangan Orangtua di Masa Pandemi

Pudjiati mengungkapkan, dalam penelitan terkait resiliensi pada keluarga-keluarga di Minang, Batak, dan Jawa, ditemukan kalau komunikasi sebagai faktor penentu terjadinya resiliensi.

"Melalui komunikasi atau tetap terhubung dengan orang lain mungkin akan membuat beban berkurang."

"Sehingga kita perlahan dapat meningkatkan resiliensi. Ini juga bagian dari mekanisme koping," kata dia.

Kepala Lembaga Demografi Universitas Indonesia dan tim pakar Satgas Penanganan Covid-19 Bidang Perubahan Perilaku, Turro S. Wongkaren ikut memberikan pandangannya.

Dia mengatakan, kita juga bisa berkomunikasi dengan Tuhan.

Baca juga: Orangtua, Kenalkan Agama dan Tuhan kepada Anak Usia Dini

Apalagi, menurut Turro, sebagian besar orang Indonesia menganggap masalah -khususnya, pandemi Covid-19 ini- sebagai cobaan yang harus dijalani dengan lapang dada.

"Saya melihat yang paling utama adalah faktor agama. Di mana, orang Indonesia saat menghadapi masalah akan selalu melihat kekuatan yang lebih tinggi yakni Tuhan," kata dia.

"Dan, ya itu tadi menganggapnya sebagai cobaan," ujar dia lagi.

Sehingga, berkomunikasi dengan Tuhan lewat doa atau beribadah dapat menjadi salah satu tindakan lebih lanjut untuk meningkatkan resiliensi di masa pandemi ini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com