KOMPAS.com – Walau bayi yang baru lahir terlihat sehat dan menggemaskan, namun bukan tidak mungkin ia menderita kelainan serius yang tak terdeteksi mata. Salah satunya adalah gangguan tiroid atau pun kekurangan hormon pertumbuhan.
Gangguan tiroid pada bayi baru lahir (hipotiroid kongenital) dapat mengakibatkan gangguan tumbuh kembang dan masalah perilaku pada anak, terutama terkait kecerdasannya.
Hal itu sebenarnya bisa diobati dengan mudah sepanjang dilakukan uji tapis (screening test) sedini mungkin. Jika hasil uji tapis ada kelainan, dokter pun bisa mengambil tindakan segera.
Menurut Presiden Direktur PT.Merck Tbk, Evie Yulin, penapisan bisa dilakukan pada bayi baru lahir berusia 3-4 hari.
“Bayi diambil sampel darahnya dari tumit, lalu diteteskan ke kertas saring dan dikirim ke laboratorium. Bayi yang positif mengalami gangguan tiroid dapat dilakukan intervensi dini berupa terapi sulih hormon levo-tiroksin,” kata Evie dalam wawancara secara virtual dengan Kompas.com.
Baca juga: Hipotiroid Kongenital pada Bayi: Gejala dan Penyebabnya
Dia menambahkan, jika terapi ini dimulai sebelum bayi berusia satu bulan, maka tumbuh kembang anak dapat berlangsung normal sesuai potensinya.
Prevalensi hipotiroid kongenital (HK) di seluruh dunia 1:3000 dengan prevalensi 1:900 di daerah endemik tinggi. Jika angka kelahiran sebanyak 5 juta bayi/tahun di Indonesia, maka akan terdapat lebih dari 1.600 bayi dengan HK per tahun yang akan terakumulasi tiap tahunnya.
Kondisi tersebut tentu bisa menjadi ancaman bagi generasi penerus. Sayangnya, banyak bayi baru lahir di Indonesia yang tidak ditapis sejak dini.
Merck melalui perusahaan riset pasar Opinion Health, pada Februari 2016 melakukan survei internasional yang melibatkan 1.600 orang Ibu di Eropa, Asia Tenggara, Amerika Tengah atau Selatan, Afrika Selatan, dan Arab Saudi.
Survei menunjukkan bahwa 84 persen responden tidak mengenali gejala gangguan tiroid pada anak.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.