Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Pandemi Berkepanjangan: Derita Kesehatan Kelompok Rentan

Kompas.com - 27/07/2021, 08:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Tulisan ini saya buat tepat di hari anak nasional. Yang semestinya dirayakan dengan penuh kegembiraan, keriaan khas anak-anak bersama ayah ibu dan teman-temannya. Seandainya pandemi ini tidak ada. Tapi fakta bicara beda.

Entah sudah berapa kali saya mendapat berita duka menyayat hati, ada anak-anak di bawah umur terpaksa kehilangan kedua orangtuanya sekaligus – korban penularan yang tak kenal mana lawan atau teman.

Selagi kita tegang mengikuti jumlah lonjakan penderita baru dan ribuan kematian, ada baiknya ketegangan yang sama kita bagi untuk menghitung anak-anak yang masa depannya terdampak.

Mulai dari kehilangan orangtua, kehilangan kesempatan belajar optimal, kehilangan asupan kecukupan gizi akibat kemiskinan ekonomi sekaligus literasi, bahkan kehilangan kesempatan emas mendapatkan ASI, akibat ibu melahirkan tak terduga terkena infeksi pandemi.

Baca juga: Ngeri Pandemi Menghantui Masa Depan Bayi

Menyusul pekan ASI dunia di awal Agustus, bisa jadi akan banyak temuan ‘kejutan’ jika pendataan dijalankan dengan benar, Inisiasi Menyusu Dini (IMD) segera setelah persalinan akan merosot drastis, akibat bayi langsung dipisah dari ibunya (baik yang terbukti positif covid maupun baru terduga, menunggu hasil swab), dampak IMD yang tidak berjalan tentu membuat cakupan menyusui secara eksklusif akan anjlok.

Dengan bayi tidak menyusu eksklusif, risiko bayi sakit dan diare akibat intoleransi laktosa semakin tinggi.

Pun seandaikan ASI perah diupayakan, belum tentu bayinya mau menyusu langsung pada ibu – akibat sudah terlanjur bingung puting sejak diperkenalkan susu formula menggunakan dot di awal kehidupannya.

Betapa menyakitkannya jika bayi dan ibu sama-sama di rumah, tapi bayinya menolak menyusu langsung dan ibunya setiap hari harus memerah ASI-nya sendiri, yang berisiko semakin sedikit akibat bayi tidak menyusu langsung.

Sebelum mencapai usia 2 tahun idealnya anak mendapat ASI, tapi ibu sudah frustrasi karena ‘susunya kering’ bahkan sebelum ulang tahun pertama si anak.

Semua celah absennya ASI akan diisi oleh industri. Salah satu penikmat penghasilan bertambah dan kekayaan meningkat, bisa jadi para pengusaha industri susu, khususnya susu formula – yang etika pemasarannya sudah melampaui batas toleransi.

Mulai dari membagikan iming-iming gratisan di rumah bersalin hingga meneror (ini istilah yang saya dapat dari para ibu) berulang kali lewat telpon – yang entah siapa yang membocorkan.

Dari rayuan bonus hingga melecehkan kemampuan seorang ibu memberi ASI sampai bayinya lepas usia 2 tahun. Sedihnya, keluarga-keluarga Indonesia semakin terjerat kemiskinan fatal akibat rasa bersalah orangtua ‘tidak mampu membelikan susu yang terbaik’ bagi anaknya.

Baca juga: MPASI ala Generasi Dapur Ngawur

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com