Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

5 Jawaban Ilmiah untuk Menangkal Konspirasi "Dicovidkan"

Kompas.com - 02/08/2021, 20:37 WIB
Sekar Langit Nariswari,
Lusia Kus Anna

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Anggapan "dicovidkan" muncul sebagai salah satu teori konspirasi paling populer selama pandemi.

Dicovidkan bukan istilah yang resmi namun banyak dipakai oleh masyarakat selama pandemi ini. Hal ini didasarkan pada kecurigaan akan adanya teori konspirasi bahwa Covid-19 tidak ada dan isu ini hanya diciptakan demi keuntungan pemerintah belaka.

Penyangkalan ini berujung dengan anggapan bahwa orang yang sakit pasti akan dinyatakan sebagai pasien Corona. Akibatnya, banyak yang enggan menerapkan protokol kesehatan, tidak mau memeriksakan diri ketika sakit, dan penuh kecurigaan pada tenaga kesehatan.

Dokter spesialis penyakit dalam, RA Adaninggar,dr,SpPD mengatakan tidak ada istilah dicovidkan dalam dunia kedokteran.

"...yang ada adalah diagnosis banding di mana pada era pandemi sekarang Covid harus masuk sebagai salah satu kemungkinan diagnosis penyakit infeksi,,," ujarnya, dikutip dari akun Instagramnya.

Baca juga: Menurut Riset, Pandemi Bikin Teori Konspirasi Makin Menjadi-jadi

Ia menerangkan, ada beberapa penjelasan ilmiah untuk setiap anggapan dicovidkan yang terlanjur menyebar di masyarakat.

  • "Kalau bergejala flu jangan swab antigen/PCR karena nanti hasilnya pasti positif"

Tudingan ini merupakan salah satu yang banyak menyebar di media sosial maupun grup whatsapp. Sayangnya, banyak yang percaya sehingga mempersulit tracking dan pengobatan yang harus dilakukan.

Covid-19 memang bisa menjadi salah satu penyebab flu. Jadi, apabila orang yang bergejala flu diswab antigen/ PCR menunjukkan hasil positif Covid-19 artinya memang ada virus atau materi genetik tersebut. 

Hal ini dipastikan dengan pernyataan WHO bahwa swab antigen/PCR spesifitasnya 99-100 persen sehingga khusus hanya memerika virus penyebab Covid.

Baca juga: [HOAKS] Bekas Suntikan Vaksin Menimbulkan Radiasi Elektromagnet

Petugas kesehatan memasuki area isolasi mandiri saat melakukan pendataan bagi warga yang terpapar COVID-19 di Banjar Terunasari, Desa Dauh Puri Kaja, Denpasar, Bali, Kamis (1/7/2021). Satgas COVID-19 menerapkan PPKM Mikro secara ketat di kawasan tersebut menyusul 20 warga setempat dinyatakan positif COVID-19 setelah melakukan tes usap PCR yang diikuti 43 warga pada Selasa (29/6). ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo/wsj.
ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo Petugas kesehatan memasuki area isolasi mandiri saat melakukan pendataan bagi warga yang terpapar COVID-19 di Banjar Terunasari, Desa Dauh Puri Kaja, Denpasar, Bali, Kamis (1/7/2021). Satgas COVID-19 menerapkan PPKM Mikro secara ketat di kawasan tersebut menyusul 20 warga setempat dinyatakan positif COVID-19 setelah melakukan tes usap PCR yang diikuti 43 warga pada Selasa (29/6). ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo/wsj.

  • "Semua penyakit sekarang hanya ada Covid, enggak ada diagnosis lain"

Kalimat ini juga cukup sering kita jumpai di masyarakat, khususnya pada orang yang masih menyangkal adanya Covid-19.

Kadangkala infeksi terjadi pada orang yang memiliki penyakit kronis sebelumnya. Selain itu, biasanya penyakit kronis ini tidak akan mengalami pemburukan jika tidak terkena kondisi serius seperti infeksi.

Faktanya, gejala infeksi Corona tidak ada yang spesifik, sebagian besar merupakan kumpulan gejala flu. Diagnosis dilakukan oleh dokter berdasarkan penggalian riwayat penyakit, kontak erat dan pemeriksaan penunjang lainnya.

Seseorang tidak akan didiagnosis Covid-19 jika tidak didukung oleh data-data tersebut. Penetapan status pasien tidak hanya dilakukan berdasarkan swan antigen/PCR atau penilaian klinik dokter saja.

Baca juga: Jangan Sembarangan Tes Swab Antigen Covid-19 Sendiri, Kenali Bahayanya

  • "Saya tifus/demam berdarah kok dibilang Covid"

Gejala kedua penyakit ini memang mirip dengan infeksi Covid-19, bahkan hasil pemeriksaan darahnya kadang sangat mirip. Namun, perjalanan perkembangan penyakitnya sangat berbeda sehingga bisa dikenali dokter dengan sejumlah pertimbangan penting. 

Dokter Ning mengatakan, Covid sangat menular dan berbahaya dibandingkan dua penyakit tersebut. Oleh sebab itu, akan lebih baik jika menganggap seseorang positif Covid terlebih dulu sampai terbukti negatif.

  • "Hasil swab antigen negatif kok masih dibilang covid?"

Banyak orang merasa dicovidkan karena hasil swab antigen yang dilakukannya terbukti negatif. Sebenarnya, tes antigen hanya positif jika jumlah virus mencapai kadar tertentu ketika diperiksa.

Sementara itu, dalam masa 10 hari menular, ada dua momen ketika swab antigen bisa negatif karena jumlah virus sudah atau belum lewat jumlah tertentu.

Untuk kasus seperti ini, seseorang akan didiagnosis suspek atau probable Covid sehingga dianjurkan melakukan pemeriksaan lanjutan dengan PCR atau swab antigen lima hari kemudian.

Baca juga: Perlukah Lakukan Tes Khusus Setelah Sembuh dari Covid-19?

  • "Hasil swab PCR negatif kok masih dibilang Covid??"

Tes PCR bukan satu-satunya penentu apakah seseorang terinfeksi Covid-19 atau tidak.

Metode ini memiliki sensitivitas 70-80 persen sehingga masih ada risiko negatif palsu. Salah satunya karena kesalahan teknik dan faktor lainnya.

Oleh sebab itu, dilakukan pemeriksaan tambahan untuk memastikan diagnosisnya termasuk gejala klinis dan riwayat perjalanan.

Jika terbukti ada gejala yang mencurigakan, seseorang dikategorikan suspek sampai terbukti bebas virus berdasarkan langkah-langkah yang ditetapkan.

"Percayakan saja diagnosis pada dokter yang memang terlatih dan belajar lama cara mendiagnosis penyakit. Makanya ga ada yg namanya tiba2 jadi dokter hanya dengan belajar dari youtube atau medsos." ujar dokter Ning mengingatkan.

Baca juga: Banyak Pasien Covid-19 Meninggal Saat Isoman, Apa Sebabnya? 

 

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com