Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hasanudin Abdurakhman
Doktor Fisika Terapan

Doktor di bidang fisika terapan dari Tohoku University, Jepang. Pernah bekerja sebagai peneliti di dua universitas di Jepang, kini bekerja sebagai General Manager for Business Development di sebuah perusahaan Jepang di Jakarta.

Artificial Intelligence: Facebook vs Google

Kompas.com - 27/08/2021, 10:46 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
Editor Wisnubrata

Facebook memiliki sederet aturan main yang disebut Community Standard. Tujuannya tentu baik, yaitu mencegah perilaku negatif dalam bermedia sosial. Berbagai bentuk pelecehan dilarang di Facebook. Demikian pula perundungan, kekerasan, dan sebagainya.

Bagaimana Facebook menegakkan standar ini? Ini jelas bukan pekerjaan mudah. Ada 2,85 milyar pengguna yang harus diawasi. Jawabannya adalah algoritma.

Kita bisa bayangkan, Facebook membuat daftar kosa kata yang dilarang, algoritma itu mencari penggunaan kata-kata itu di tengah puluhan milyar perbincangan yang berlangsung setiap saat.

Persolan muncul dari algoritma ini. Bagaimana mungkin mesin bisa memahami bahasa manusia. Lebih muskil lagi, bagaimana mungkin mesin bisa jadi hakim atas bahasa manusia. Di situlah Facebook membuat blunder besar.

Kalau ditilik dari kasus-kasus yang dihukum oleh Facebook, termasuk yang saya alami sendiri, Facebook sangat mengandalkan algoritma.

Masalahnya, algoritma Facebook masih jauh dari kualitas yang cukup untuk memahami, apalagi menghakimi bahasa manusia. Maka muncullah kasus-kasus konyol, penghakiman yang tidak masuk akal oleh algoritma Facebook.

Seorang teman saya posting tentang pedagang pisau di pasar, langsung kena tuduhan berjualan senjata. Komentar-komentar yang tidak berbau pelecehan atau kekerasan, dihukum dengan tuduhan itu.

Jangan coba-coba bercanda, Facebook sama sekali tidak punya kemampuan untuk mendeteksi candaan, sarkasme, atau satire. Apa boleh buat, mesin memang tidak sanggup memahami semua itu.

Untuk mengatasi hal itu sepertinya Facebook masih mempekerjakan manusia, untuk melakukan evaluasi ulang terhadap kasus-kasus yang sudah ditangani oleh mesin. Jumlah pekerjanya tentu sangat sedikit, dibanding angka 2,85 milyar tadi.

Masalahnya, para manusia ini juga tidak punya kecerdasan yang cukup untuk memahami kerumitan bahasa manusia. Mungkin Facebook hanya sanggup menggaji karyawan dengan gaji berstandar UMK untuk menangani persoalan ini.

Akibatnya mereka bekerja dengan standar buruh pabrik. Pola kerjanya tak jauh berbeda dengan mesin: lihat teks, bandingkan dengan standar, eksekusi, selesai. Bahkan untuk sekadar memahami maksud kalimat saja mereka tidak sanggup.

Pertanyaan menariknya, mungkinkah mesin memahami bahasa manusia sampai ke konteksnya?

Waktu Google mulai memperkenalkan Google Translator sekitar 15 tahun yang lalu, saya sering tertawa membaca hasil terjemahannya. Benar-benar khas kerja mesin.

Mesin Google waktu itu masih kesulitan memahami makna kata berbasis konteks. Jadi terjemahan yang dibuat Google sangat lucu.

Tapi kini Google translator sudah sangat berbeda. Banyak pekerjaan penerjemahan bisa saya lakukan dengan bantuan Google Translator. Saya hanya perlu memoles sedikit saja.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com