Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 07/09/2021, 15:35 WIB
Sekar Langit Nariswari,
Glori K. Wadrianto

Tim Redaksi

Jika ingin bersikap objektif, dasarnya tidak hanya pada kasihan, namun juga melihat dari dua perspektif sekaligus.

"Sama-sama punya hak untuk melanjutkan hidup, namun tentu sebagai basic manusia, pemenuhan kebutuhan dasarnya misalnya, bukan lalu langsung jumping ke kehidupan publik," tandas Psikolog ini.

Lucia mengakui hal tersebut memang suatu hal yang kompleks karena berkaitan dengan hak hidup dua manusia.

Hal yang juga perlu dipastikan, tambahnya, apakah orang dengan riwayat perilaku menyimpang tersebut sudah melakukan perbaikan.

Misalnya, sudah menjalani terapi, yang didukung dengan bukti adanya perubahan perilaku dan pola pikir.

Baca juga: Permintaan Maaf Saipul Jamil Usai Dihujani Protes dan Kecaman

Tujuannya tak lain untuk memastikan orang tersebut tidak berisiko membahayakan orang lain.

Sehingga, keberadaan pelaku kekerasan seksual di masyarakat seharusnya tidak memberikan ancaman baik bagi penyintas maupun orang lain di sekitarnya.

"Bukan hanya soal hak pelaku atau mantan pelaku, ada hak orang lain yang harus diperhatikan, khususnya penyintas," tegas Lucia. 

Hanya korban yang bisa memberi maaf

Ade Iva Wicaksono, Psikolog yang memegang gelar doktor dari Universitas Indonesia juga memberikan pendapatnya lewat media sosial Twitter.

Menurut dia, pemberian maaf hanya bisa dilakukan oleh korban, bukan orang lain.

Hal ini juga dilakukan dengan sejumlah catatan. Ada setidaknya tiga aspek yang harus diperhatikan untuk menjawab apakah pelaku kekerasan seksual layak diberikan maaf.

"Pertama, pemaafan seorang pelaku sexual abuse hanya bisa dilakukan korban, bukan masyarakat."

"Korban mengalami trauma dan hanya korbanlah yang boleh menentukan pemaafan terhadap pelaku," demikian bunyi kicauan Ade di akun @@ivarivai1992.

Ade menyebutkan salah satu studi psikologi yang mendasari pendapatnya ini, Studi Prieto-Ursua (2021).

Baca juga: Soal Perayaan Bebasnya Saipul Jamil, Ini Kata Sosiolog

Kedua, pemberian maaf dan penerimaan pelaku bukan oleh korban dapat berarti jaminan untuk menekan penyintas agar tetap diam dan gangguan terhadap kesejahteraannya.

Selain itu, penerimaan ini sekaligus menjadi bentuk tindakan melepaskan pelaku perundungan seksual dari tanggung jawab.

Hal ini, menurut Ade, bisa memberikan akibat yang mengerikan.

Hal ketiga yang juga harus dicermati, pemaafan adalah proses yang sangat personal. Penyintas maupun keluarganya tidak bisa dipaksa untuk memaafkan dan menerima pelaku begitu saja.

"Apa yang telah dilakukan stasiun-stasisun televisi dengan memberikan kesempatan SJ muncul di televisi melanggar hak-hak korban kekerasan seksual," tulis dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com