Tujuannya tak lain untuk memastikan orang tersebut tidak berisiko membahayakan orang lain.
Sehingga, keberadaan pelaku kekerasan seksual di masyarakat seharusnya tidak memberikan ancaman baik bagi penyintas maupun orang lain di sekitarnya.
"Bukan hanya soal hak pelaku atau mantan pelaku, ada hak orang lain yang harus diperhatikan, khususnya penyintas," tegas Lucia.
Ade Iva Wicaksono, Psikolog yang memegang gelar doktor dari Universitas Indonesia juga memberikan pendapatnya lewat media sosial Twitter.
Menurut dia, pemberian maaf hanya bisa dilakukan oleh korban, bukan orang lain.
Hal ini juga dilakukan dengan sejumlah catatan. Ada setidaknya tiga aspek yang harus diperhatikan untuk menjawab apakah pelaku kekerasan seksual layak diberikan maaf.
"Pertama, pemaafan seorang pelaku sexual abuse hanya bisa dilakukan korban, bukan masyarakat."
"Korban mengalami trauma dan hanya korbanlah yang boleh menentukan pemaafan terhadap pelaku," demikian bunyi kicauan Ade di akun @@ivarivai1992.
Ade menyebutkan salah satu studi psikologi yang mendasari pendapatnya ini, Studi Prieto-Ursua (2021).
Baca juga: Soal Perayaan Bebasnya Saipul Jamil, Ini Kata Sosiolog
Kedua, pemberian maaf dan penerimaan pelaku bukan oleh korban dapat berarti jaminan untuk menekan penyintas agar tetap diam dan gangguan terhadap kesejahteraannya.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.