Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Stres Picu Risiko Hipertensi, Serangan Jantung, dan Stroke, Benarkah?

Kompas.com - 14/09/2021, 21:00 WIB
Ryan Sara Pratiwi,
Glori K. Wadrianto

Tim Redaksi

Sumber CNN

"Namun, penelitian yang mengamati orang dewasa tanpa hipertensi masih kurang," ujar dia.

Studi ini menguji tiga hormon (norepinefrin, epinefrin, dan dopamin) yang mengatur sistem saraf otonom dan mengontrol fungsi tubuh yang tidak disengaja seperti detak jantung, tekanan darah, serta pernapasan.

Dokter Inoue dan timnya juga melihat kadar kortisol dan hormon steroid yang dilepaskan oleh tubuh sebagai reaksi terhadap stres akut seperti bahaya.

Setelah bahaya berlalu, tubuh mengurangi produksi kortisol. Tetapi, jika seseorang terus menerus stres, kadar kortisol dapat terus meningkat.

"Norepinefrin, epinefrin, dopamin dan kortisol dapat meningkat dengan stres dari peristiwa kehidupan, pekerjaan, hubungan, keuangan, serta masih banyak lagi," ungkap dia.

Studi tersebut juga menemukan, menggandakan tingkat kortisol saja — bukan norepinefrin, epinefrin atau dopamin — dikaitkan dengan risiko 90 persen lebih tinggi mengalami kejadian kardiovaskular.

Setiap kali tingkat gabungan dari keempat hormon stres berlipat ganda, risiko terkena tekanan darah tinggi meningkat antara 21-31 persen.

Menurut para peneliti, efeknya pun lebih terasa pada orang-orang yang lebih muda atau berusia di bawah 60 tahun.

Baca juga: Hati-hati, Duduk Terlalu Lama Bisa Tingkatkan Risiko Stroke

"Dalam konteks ini, temuan kami menghasilkan hipotesis bahwa hormon stres memainkan peran penting dalam patogenesis hipertensi di antara populasi yang lebih muda," tulis mereka.

Namun, studi ini masih memiliki keterbatasan, termasuk kurangnya kelompok kontrol dan penggunaan hanya satu ukuran urin untuk menguji hormon stres.

Yang harus dilakukan

Dr Levine mengatakan, meskipun kita semua jelas tidak tahu berapa kadar kortisol urin kita, ada beberapa cara kita mengetahui beberapa faktor psikologis negatif, terutama hal-hal seperti stres.

"Jika kita menyadari bahwa kita cenderung sering stres, frustrasi, atau marah, maka akan sangat membantu untuk merenungkan apa sebenarnya hal-hal yang membuat kita menjadi stres," kata dia.

Di samping itu, Dr Ackrill juga menambahkan, dengan menyadari pemicu stres kita dapat menghentikan respons hormonal otomatis tersebut sebelum memicu sistem peredaran darah kita.

Baca juga: Hati-hati, Kelebihan Protein Hewani Picu Penyakit Kardiovaskular

"Untuk melakukan intervensi lebih awal, kita bisa melakukannya dengan mempraktikkan latihan pernapasan dalam atau respons relaksasi lainnya," saran Dr Ackrill.

Itu akan memungkinkan otak eksekutif kita lebih tinggi untuk bekerja dan memberi kita pilihan tentang cara menangani situasi.

"Kita juga dapat berhenti sejenak, merenungkan, dan mencerna sesuatu sebelum mengambil beberapa detik untuk memutuskan apa cara atau solusi yang paling ampuh," ujar Dr Levine.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Sumber CNN
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com