Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menyikapi Food Shaming, Komentar Nyinyir Soal Makanan

Kompas.com - 22/09/2021, 14:11 WIB
Anya Dellanita,
Lusia Kus Anna

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Mungkin kita sudah akrab dengan istilah body shaming atau perilaku menjelek-jelekkan dan mengomentari penampilan fisik orang lain. Namun, pernahkah kamu mendengar tentang food shaming?

Seperti halnya body shamingfood shaming pada dasarnya adalah komentar nyinyir dari seseorang terkait kualitas, kalori, lemak, atau karbohidrat, yang terkandung dalam makanan.

Mengamati dan mengomentari porsi makan seseorang juga bisa dikategorikan food shaming, lho.

Baca juga: Pahami, 7 Etika Dasar Saat Ucapkan Rasa Dukacita via Media Sosial

Berikut ini, ada beberapa contoh kalimat yang merupakan bentuk food shaming:

  • Wow! Isi piringmu sepertinya bisa memberi makan satu keluarga!
  • Kamu tahu kan makanan yang kamu pilih itu tidak baik untuk kesehatan?
  • Baunya tidak enak. Apa sih itu?
  • Makanan itu banyak mengandung lemak. Mungkin kamu harus memilih makanan lain.
  • Kamu jangan pilih cake itu. Nanti tambah gemuk lho.
  • Hanya itu yang kamu makan? Badanmu sudah seperti lidi.

Jadi, hati-hatilah jika hobi mengatakan satu atau beberapa hal di atas. Bisa saja kamu telah melakukan food shaming pada orang lain.

Mengapa orang melakukan food shaming?

Menurut psikolog Ninoska Peterson, ada beberapa hal yang menyebabkan seseorang melakukan food shaming, seperti pengalaman atau budaya di tempat kita tumbuh hingga tren saat ini.

“Saat ini, food shaming dapat dipengaruhi oleh media sosial. Namun, riwayat keluarga, hubungan kita dengan makanan, atau pola makan saat masa kanak-kanak juga dapat berperan dalam food shaming,” kata Peterson.

Baca juga: Baca Ini Dulu Sebelum Berkomentar Nyinyir di YouTube

Peterson juga menjelaskan mengapa banyak orang yang melakukan pendekatan “semua atau tidak sama sekali” pada makanan.

Menurutnya, beberapa makanan dianggap “sehat” sementara makanan lain tidak, dan biasanya, anggapan ini terbentuk dari masa lalu kita.

“Kita memerlukan makanan sebagai bahan bakar bagi tubuh kita. Namun, kita membuat aturan terkait makanan itu, apalagi saat di masa kanak-kanak,” ujarnya.

Menurut Peterson, aturan itu memutuskan apa saja yang bisa dan seharusnya kita makan, serta seberapa banyak kita diperbolehkan untuk makan.

“Sangat sulit untuk melupakan pola makan ini. Dan saat kita tidak mematuhinya, kita akan merasa bersalah,” ujarnya menjelaskan.

Baca juga: Pilihan Makanan Tentukan Kesehatan Mental, Benarkah?

Makan perlahan memungkinkan kita untuk lebih menikmati makanan dan membuat kita lebih cepat kenyang.UNSPLASH/LOUIS HANSEL Makan perlahan memungkinkan kita untuk lebih menikmati makanan dan membuat kita lebih cepat kenyang.

Menangani food guilt dan food shaming, bagaimana caranya?

Untuk menghadapi rasa bersalah ketika mengasup makanan tertentu, Peterson menyarankan agar kita membagi makanan ke dalam dua kategori yang lebih holistik, seperti “bergizi” dan “memuaskan.”

Peterson mengatakan melakukan itu akan membuat terjadinya overlap yang baik.

“Jika kita hanya memakan makanan yang baik, kualitas hidup bisa terganggu. Begitu pula jika kita hanya menikmati makanan yang memuaskan. Penting untuk memakan makanan yang masuk ke dalam dua kategori tersebut,” ujarnya.

Baca juga: 5 Tips Asupan Makanan demi Umur Panjang

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com