Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Konten Media Sosial Penuh Sensasi, Miskin Esensi?

Kompas.com - 24/09/2021, 07:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Barangkali saya sudah termasuk generasi yang tidak ‘nyambungan’ lagi di masa sekarang. Lebih tepatnya bingung, dalam proses menyampaikan suatu pemahaman bagi komunitas yang usianya masih separuh dari saya.

Ketika saya diminta membuat pesan edukasi singkat yang berdurasi satu menit, rasanya jauh lebih frustrasi ketimbang membuat artikel penuh seperti ini.

Ketika saya tanya: Kenapa sih harus satu menit? Kenapa harus video? Dijawab: karena generasi baru ini tidak suka bertele-tele, mau yang simple, praktis, mudah, dan mudah dipahami. Dengggggg! Meteor raksasa baru saja jatuh ke atas bumi.

Baca juga: Pahami, 7 Etika Dasar Saat Ucapkan Rasa Dukacita via Media Sosial

Fenomena yang sama terjadi di salah satu komentar dalam akun Instagram saya, yang menanyakan tutorial video cara membuat santan. Cara memanaskan makanan pendamping asi. Cara membuat bubur cincang. Cara menakar porsi bahan makanan.

Padahal setiap gambar (posting-an) di Instagram, sudah disertai kata-kata sederhana dalam kalimat pendek. Masih tidak bisa dipahami.

Jujur saya agak khawatir dengan kemampuan abstraksi generasi masa kini. Apakah itu sebabnya, mereka menjadi penikmat video, YouTube ketimbang pembaca buku? Akankah kita menuju masa di mana buku (termasuk e-book) semakin langka?

Lebih ngeri lagi, atas nama kepraktisan dan simplifikasi, setiap masalah yang ada selalu ditanyakan: dok, lalu solusinya apa? Hal yang sama ditanyakan saat diagnosa penyakit muncul hingga konfirmasi anak sudah stunting.

Padahal sebelum penyakit mendera, kita diberi puluhan tahun untuk hidup baik dan ‘makan bener’ – bahkan diberi sinyal jika tubuh sering disiksa demi kenikmatan lidah: mulai dari gampang ngantuk, susah fokus, hingga kegemukan yang membuat pinggang sesak.

Pun sebelum anak disebut stunting, bulan demi bulan kenaikan berat badan tidak optimal, sering sakit dan malas makan.

Tapi bukannya dievaluasi penyebabnya, malah sang ibu hidup dalam penyangkalan (masih saja disebut anak sakit itu biasa) dan berburu resep masakan, yang katanya bisa mengejar berat badan anak. Tentunya dari medsos. Karena itu satu-satunya lingkaran informasi yang masih bisa ‘nyangkut’ di pemahaman mereka.

Tidak banyak para petinggi pembuat kebijakan yang tahu bagaimana ‘sepak terjang’ para ibu muda di pertengahan usia 20-an memberi makan anaknya yang lebih banyak mingkem dan rewel ketimbang mangap di setiap suap seperti teori.

Saat ada satu konten tiktok yang viral dan bombastis muncul sebagai ‘resep idaman’ pendongkrak berat badan anak, maka konten itu akan berputar di semua komunitas ibu muda dengan prinsip “ATM”: amati, tiru, modifikasi.

Artinya, mereka akan meniru apa yang ditonton dan memodifikasi dengan pemahaman masing-masing.

Baca juga: Kenapa Orang Senang Bikin Akun Anonim di Media Sosial?

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com