Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 10/10/2021, 09:51 WIB
Ryan Sara Pratiwi,
Glori K. Wadrianto

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Setiap tanggal 10 Oktober, negara-negara di seluruh dunia merayakan Hari Kesehatan Mental Sedunia atau World Mental Health Day.

Di tahun 2021, World Federation for Mental Health (WFMH) mengusung tema "Mental Health in an Unequal World".

Tema tersebut menyoroti ketidakadilan perawatan kesehatan mental karena faktor-faktor seperti gender, orientasi seksual, dan pendapatan ekonomi.

Secara khusus, WFMH juga menekankan, 75-90 persen orang di negara berpenghasilan rendah dan menengah tidak memiliki akses ke layanan kesehatan mental yang layak.

Baca juga: 3 Tips Belanja Online yang Baik bagi Kesehatan Mental

Di Indonesia, data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan, lebih dari 19 juta penduduk berusia di atas 15 tahun mengalami gangguan mental emosional.

Lalu, lebih dari 12 juta penduduk mengalami depresi.

Selain itu, berdasarkan Sistem Registrasi Sampel yang dilakukan Badan Litbangkes tahun 2016, diperoleh data bunuh diri pertahun sebanyak 1.800 orang.

Atau, setiap hari ada lima orang melakukan bunuh diri, serta 47,7 persen korban bunuh diri adalah pada usia 10-39 tahun yang merupakan usia anak remaja dan usia produktif.

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Dr Celestinus Eigya Munthe mengatakan, sampai saat ini belum semua provinsi mempunyai rumah sakit jiwa.

Sehingga, tidak semua orang dengan masalah gangguan jiwa mendapatkan pengobatan yang seharusnya.

Permasalahan lain, lanjut Celestinus, adalah terbatasnya sarana prasarana dan tingginya beban akibat masalah gangguan jiwa.

Baca juga: 3 Tips agar Belanja jadi Self-Care demi Jaga Kesehatan Mental

"Masalah sumber daya manusia profesional untuk tenaga kesehatan jiwa juga masih sangat kurang," kata dia seperti dikutip dari laman Kemenkes, Kamis (7/10/2021).

"Karena sampai hari ini jumlah psikiater sebagai tenaga profesional untuk pelayanan kesehatan jiwa kita hanya mempunyai 1.053 orang," sambung dia.

Artinya, satu psikiater melayani sekitar 250 ribu penduduk. Menurut dia, hal ini menjadi suatu beban yang sangat besar dalam upaya meningkatkan layanan kesehatan jiwa di Indonesia.

Dampak pandemi Covid-19

Tema Hari Kesehatan Mental Sedunia yang diangkat WFMH sekaligus mencerminkan bagaimana dampak pandemi Covid-19 semakin menampilkan akses kesehatan mental yang tidak setara.

Kondisi tersebut juga menciptakan masalah kesehatan mental baru pada orang-orang di seluruh dunia.

Pada intinya, momen ini adalah pengingat akan beratnya kesehatan mental bagi setiap orang dan bahaya mengabaikannya.

"Kesehatan mental sangat terkait dengan hampir setiap masalah sosial yang kita hadapi dan trauma global yang diciptakan," kata Dan Hoffmann, anggota pendiri dan kepala pemasaran organisasi nirlaba Project Healthy Minds.

"Momok perang, ketakutan akan kekerasan, rasa sakit akibat kekerasan rasial dan ketidakadilan, dan banyak lagi masalah lainnya memiliki dampak mendalam pada kesehatan mental," ujar dia.

Ditambah lagi, pandemi Covid-19 juga telah menciptakan tantangan kesehatan mental baru dan memperburuk yang lain.

Baca juga: Bullying Antar Saudara Pun Berdampak pada Kesehatan Mental

"Untuk mengatasi masalah ini, individu harus memiliki akses ke informasi tentang bagaimana kesehatan mental terwujud dan perawatan apa yang tersedia," ungkap profesor psikologi di Tulane University Traumatology Institute, Charles Figley.

Tantangan dan intervensi yang bervariasi

Pengalaman setiap orang sangat bervariasi berdasarkan lokasi, budaya, dan pengalaman mereka, yang semuanya harus dipertimbangkan saat memperluas perawatan kesehatan mental.

"Setiap budaya masyarakat memiliki kebiasaan, nilai, dan norma komunitasnya sendiri yang unik," kata koordinator proyek untuk organisasi Project HOPE, Rawan Hamadeh.

"Sangat penting bahwa kesehatan mental didekati dengan cara yang mengutamakan budaya dan adat istiadat setempat, serta menawarkan perawatan kesehatan mental dengan cara yang kompeten secara budaya," tutur dia.

Baca juga: Mengapa Instagram Berbahaya bagi Kesehatan Mental Remaja Perempuan

Hamadeh juga menambahkan, poin yang perlu dipertimbangkan termasuk:

• Tingkat stigma dalam mencari layanan kesehatan mental.

• Aksesibilitas ke layanan kesehatan mental berkualitas tinggi.

• Banyaknya teknik penyembuhan alternatif.

• Spiritualitas dan ritual keagamaan.

• Ada atau tidak adanya mekanisme dukungan keluarga atau sosial.

• Frekuensi kekerasan berbasis gender.

Pandemi global dapat berdampak buruk pada kesehatan mental sebagian besar individu di seluruh dunia.

Baca juga: Demi Kesehatan Mental, Naomi Osaka Putuskan Rehat dari Dunia Tenis

Tetapi keadaan, stresor tambahan, dan dukungan yang mereka terima dari pengalaman yang dibagikan secara luas ini akan berbeda.

"Kesehatan mental itu unik karena kita merasakan dampak dari peristiwa lokal dan global," kata Hoffmann.

"Kami merasakan dampak langsung dari peristiwa yang terjadi di komunitas kami, tetapi tantangan kesehatan mental juga dapat dipicu dengan melihat peristiwa traumatis merugikan komunitas lain di seluruh dunia," imbuh dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com