Publik Korea Selatan juga lebih sensitif karena banyak faktor yang bisa menjadi pemicu cancel culture. Selain tindakan kriminal, perilaku tidak pantas seperti gaslighting atau merokok ketika sekolah juga bisa menjadi sumber boikot publik.
Lisa Nakamura, seorang profesor di University of Michigan, Amerika Serikat menjelaskan cancel culture adalah "boikot budaya" terhadap selebriti, merek, perusahaan, atau konsep tertentu.
Umumnya dilakukan kepada pesohor yang tersandung skandal atau isu akan perilakunya yang bermasalah. Bentuk boikot yang diberikan juga bisa berbeda-beda pada setiap orang.
Ada yang kehilangan berbagai kontrak pekerjaan, bullying di media sosial, pengurangan adegan dalam sebuah drama, filmnya sulit tayang dan kehilangan penggemar.
Dr Jill McCorkel, seorang profesor sosiologi dan kriminologi di Universitas Villanova mengatakan cancel culture sebenarnya bukanlah tradisi yang baru di masyarakat. Kebiasaan ini sudah ada sepanjang sejarah keberadaan manusia.
Masyarakat telah menghukum orang lain karena berperilaku di luar norma sosial yang dirasakan selama berabad-abad, ujarnya. Cancel culture yang marak di era digital ini hanyalah variasi lain yang lebih baru.
“Cancel culture adalah perpanjangan atau evolusi kontemporer dari serangkaian proses sosial yang lebih berani yang dapat kita lihat dalam bentuk pengusiran,” katanya.
Cara ini dirancang untuk memperkuat seperangkat norma dengan menjadikan para pesohor termasuk selebriti, perusahaan, dan media sebagai sasarannya.
Baca juga: Begini Curahan Hati Johnny Depp Pasca Alami Cancel Culture
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanKunjungi kanal-kanal Sonora.id
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.