Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Benarkah Pandemi Membuat Orang Kecanduan Olahraga?

Kompas.com - 25/10/2021, 14:31 WIB
Anya Dellanita,
Wisnubrata

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Sejak pandemi, banyak orang yang meningkatkan kebiasaan olahraga mereka untuk meningkatkan kebugaran dan imun, hingga menjadi “kecanduan.”

Tren olahraga dalam rumah pun meningkat pesat, terbukti dengan meningkatnya penjualan peralatan gym dan unduhan aplikasi kebugaran.

Misalnya saja Peloton, sebuah perusahaan produsen alat olahraga yang dikenal dengan at-home bike, kelas olahraga via siaran langsung dan video on-demand, serta aplikasi kebugarannya, berhasil mendapatkan 3,1 juta subscriber global pada 2020 silam.

Video kebugaran daring pun ternyata sama viralnya, karena banyak orang yang ingin memangkas lemak tubuh selama pandemi.

Bahkan, viewer video milik influencer kebugaran Chloe Ting meningkat drastis, dan videonya yang berjudul “Get Abs in 2 Weeks (Mendapatkan perut rata dalam dua minggu),” berhasil meraih sekitar 401 juta view.

Media sosial juga menjadi tempat populer bagi orang-orang untuk mendokumentasikan kesuksesan mereka dalam berolahraga, seperti penurunan berat badan drastis, dan transformasi dari perut buncit menjadi six-pack.

Baca juga: Cermati, 7 Tanda Kamu Olahraga Berlebihan

Jen Lauren, seorang influencer kesehatan, mencoba beberapa tantangan pembentukan perut yang terlihat menjanjikan itu, dan melihat bagaimana wanita-wanita muda bisa memiliki obsesi tidak sehat akan olahraga dengan ekspetasi yang tidak realistis.

“Setiap orang memiliki tubuh berbeda dan makan makanan yang berbeda pula. Ini tidak realistis dan menurutku, bisa menimbulkan rasa tidak percaya diri pada seseorang saat berusaha berolahraga dan tidak mendapatkan hasil yang mereka lihat di dunia maya,” ujar wanita berusia 24 tahun ini pada Verywell.

Beberapa psikolog juga mengungkapkan ciri-ciri kecanduan olahraga dalam sebuah studi pada 2011 silam.

Ciri-ciri itu seperti mengurangi kegiatan sosial untuk mengimbangi waktu olahraga, kurangnya kontrol diri, ketidakmampuan untuk patuh pada rutinitas, mengabaikan cedera atau kelelahan, dan merasa mudah tersinggung atau cemas jika tidak berolahraga.

Umumnya, hanya 8,7 persen pengguna gym yang masuk kriteria kecanduan olahraga ini, meski biasanya hal ini lebih sering terjadi pada orang yang mengalami gangguan makan.

Lauren pun akhirnya mengalihkan perhatiannya dari video yang menjanjikan perut rata atau penurunan berat badan dalam beberapa hari, dan mulai memperhatikan Sydney Cummings, seorang pelatih pribadi yang juga membagikan video latihan di YouTube.

Dengan lebih dari 1,2 juta subscriber dan fanbase yang menyebut dirinya "Sydney Squad," Cummings mengatakan ia memahami bagaimana industri kebugaran dapat memunculkn pikiran berbahaya seputar kesehatan fisik.

Baca juga: Pahami, Dampak Olahraga Berlebih terhadap Jantung

Beberapa tahun lalu, Cummings mulai menghapus judul video YouTube-nya yang menyebutkan frasa seperti "pembakaran kalori" setelah melihat pengikutnya mengklik video yang berisi olahraga yang membakar jumlah kalori tertinggi.

"Adalah tanggung jawab industri kebugaran untuk memikirkan jumlah mata yang melihat judul-judul itu dan usia orang-orang yang melihatnya, dan bagaimana itu menjadi tren saat ini," kata Cummings kepada Verywell.

“Orang-orang diberi representasi palsu terkait periode waktu yang sangat singkat dan hasil yang sangat drastis, yang menyiratkan bahwa kita seharusnya hanya fokus untuk perubahan secara estetika,” tambahnya.

Dalam sebuah studi tahun 2020, para peneliti mengatakan kecanduan olahraga “dapat mengakibatkan hilangnya kendali diri. Lalu, meski penelitian menemukan naiknya aktivitas olahraga terkait pandemi sebanyak 49 persen, sekitar 15 persen peserta diklasifikasikan sebagai berisiko kecanduan olahraga.

Baca juga: Jangan Olahraga Berlebihan Selama Masa Karantina, Apa Alasannya?

Tren olahraga saat pandemi cenderung positif

Di balik risiko kecanduan, rupanya tren olahraga saat pandemi cenderung positif.

Menurut Paul Ronto, kepala pemasaran RunRepeat, perusahaan review sepatu,  sebagian besar orang yang mulai berolahraga lebih sering sejak tahun lalu mendapat manfaat positif.

Pada bulan Maret lalu, RunRepeat menggelar sebuah penelitian yang menemukan bahwa terjadi peningkatan intensitas olahraga sebesar 88% pada 12.913 peserta.

Menariknya, intensitas tinggi itu datang bukan dari olahragawan, namun orang biasa atau mereka yang biasanya hanya berolahraga sekali atau dua kali seminggu.

Olahragawan yang rajin atau mereka yang berolahraga empat kali atau lebih dalam seminggu, malah mengalami penurunan frekuensi olahraga dengan rata-rata sebesar 14%.

Ronto juga mengatakan bahwa tren kebugaran pandemi ini telah membuat makin banyak orang yang masuk ke komunitas kebugaran.

“Frekuensi olahraga yang berlebihan tidak terlalu mengkhawatirkan. Yang terjadi saat ini adalah orang-orang menjadi tak sehat karena hanya melakukan satu atau dua jenis latihan dan melakukan hal yang sama berulang-ulang dengan sedikit atau tanpa latihan silang,” ujarnya.

Karena itu, Cummings melihat bahwa di balik kekurangannya, ada potensi kekuatan media sosial untuk mempromosikan kebiasaan kebugaran yang sehat.

Ia juga meyakini bahwa bagian dari memerangi kecemasan kesehatan terletak pada membuat olahraga sebagai sarana untuk merasa lebih kuat dan lebih berenergi, bukan hanya sekadar mencapai bentuk fisik tertentu.

"Saya pikir orang mulai mengerti bahwa sehat tidak terlihat dengan cara tertentu, Namun merupakan representasi dari bagaimana diri kita berfungsi serta bagaimana kita memikirkan diri sendiri,” pungkasnya.

Baca juga: Efek Negatif Olahraga Berlebihan pada Kekebalan Tubuh

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com