Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Agnes Setyowati
Akademisi

Dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Universitas Pakuan, Bogor, Jawa Barat. Meraih gelar doktor Ilmu Susastra dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Aktif sebagai tim redaksi Jurnal Wahana FISIB Universitas Pakuan, Ketua Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) Komisariat  Bogor, dan anggota Manassa (Masyarakat Pernaskahan Nusantara). Meminati penelitian di bidang representasi identitas dan kajian budaya.

Lingkungan Kerja Anda Toksik? Kenali Ciri-Cirinya

Kompas.com - 04/11/2021, 11:34 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Cara paling tepat dan bijak untuk terhindar dari kultur bergosip adalah dengan menghindarinya, mempertahankan cara berpikir positif, dan sebisa mungkin tidak terpancing untuk berkomentar negatif.

Yang terpenting lagi, tidak perlu memberikan celah untuk mereka mengetahui kelemahan kita dan hal-hal yang sifatnya personal. Para penggosip suatu saat akan memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi (bahkan untuk menjatuhkan kita).

Jadi jangan biarkan Anda menjadi korban berikutnya.

Secara sosial, menurut Erving Goffman, manusia memiliki dua layers utama yang terdiri dari frontstage dan backstage. Artinya, apa yang individu tampilkan di publik belum tentu atau mungkin tidak sama dengan apa yang mereka tampilkan di belakang (backstage).

Dalam kaitannya dengan kultur gosip, kita harus paham bahwa kita tidak akan pernah mampu sepenuhnya membaca atau menilai karakter seseorang secara pasti.

Oleh karena itu, kita harus selalu waspada terhadap ucapan yang kita sampaikan ke orang lain dan sangat selektif dalam memilih teman dan membagikan infomasi kepada orang lain.

Baiknya, kita juga harus mulai membiasakan diri untuk tidak cepat menilai orang dari penilaian orang lain karena jika tidak hati-hati kita akan tergiring ke dalam opini yang belum tentu kebenarannya. Di situlah kita sudah terjebak menjadi korban.

Pimpinan otoriter

Salah satu hal yang membuat kita nyaman berada di suatu tempat kerja adalah sosok pimpinan yang inklusif, jujur, tegas, cerdas, dan memiliki leadership yang baik.

Figur pimpinan dengan kualitas-kualitas tersebut akan membuat karyawan dari berbagai level menjadi termotivasi untuk memberikan kinerja terbaik bagi perusahaan.

Namun, jika seorang pimpinan sudah bersikap otoriter, bossy, semena-mena, dan hanya memprioritaskan kepentingannya sendiri, itu adalah tanda bahwa Anda sedang berada di tempat kerja yang toksik.

Mengapa demikian? Karena pimpinan seperti ini berpotensi anti-terhadap segala bentuk umpan balik (feedback) dan kritik dari karyawannya

Padahal, ruang diskusi yang intensif-inklusif antara manajemen dan karyawan sangat penting demi kemajuan suatu perusahaan.

Sebaliknya, pemimpin yang smart dan profesional akan selalu intensif membuka ruang diskusi dengan tim atau karyawannya serta bersedia menerima masukan dan kritik secara jujur-bijaksana alih-alih menutup keran terhadap suara-suara mereka.

Tidak berfungsinya regulasi

Setiap perusahaan pasti memiliki regulasi serta nilai-nilai dasar yang telah ditetapkan secara profesional.

Setiap kebijakan yang diambil seorang pimpinan harus merujuk pada regulasi dan berorientasi pada kepentingan bersama bukan individu atau segelintir orang.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com