Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Agnes Setyowati
Akademisi

Dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Universitas Pakuan, Bogor, Jawa Barat. Meraih gelar doktor Ilmu Susastra dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Aktif sebagai tim redaksi Jurnal Wahana FISIB Universitas Pakuan, Ketua Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) Komisariat  Bogor, dan anggota Manassa (Masyarakat Pernaskahan Nusantara). Meminati penelitian di bidang representasi identitas dan kajian budaya.

Lingkungan Kerja Anda Toksik? Kenali Ciri-Cirinya

Kompas.com - 04/11/2021, 11:34 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KITA semua pasti setuju bahwa kenyamanan di tempat kerja merupakan hal wajib yang harus diwujudkan perusahaan supaya kinerja dan produktivitas kita meningkat karena hal tersebut bisa berdampak positif baik bagi perusahaan maupun diri kita sendiri.

Akan tetapi, keinginan ini kadang sulit terjadi. Banyak dari kita yang berakhir pada kondisi kerja yang sarat dengan kepenatan dan membawa kita pada kekecewaan. Alhasil, ini memberi dampak buruk bagi kita baik secara fisik maupun psikologis.

Jika kita mulai merasa bosan dan kehilangan semangat untuk mengembangkan diri, sering diserang rasa malas untuk berangkat ke kantor, dan tidak nyaman menghabiskan waktu untuk berlama-lama di tempat kerja, kita patut meninjau ulang untuk memastikan apa yang sedang terjadi lingkungan kerja dan dampaknya bagi diri kita.

Bisa saja lingkungan kerja kita selama ini penuh dengan serangkaian regulasi dan orang-orang yang toksik yang kadang sering tidak kita sadari. Lebih parahnya lagi, kita maklumi sebagai hal yang wajar (taken for granted).

Dikutip dari Oxford Advanced Learner’s Dictionary, kata toksik berasal dari bahasa Inggris toxic (adj) yang berarti (a) mengandung racun, dan (b) dalam konteks informal, dapat bermakna seseorang dengan kepribadian yang tidak menyenangkan, terutama dalam hal mengendalikan atau memengaruhi orang lain dengan cara yang tidak jujur.

Berangkat dari definisi dan pemahaman ini, kita perlu mengenali ciri-ciri apa saja yang menandakan lingkungan kerja kita bersifat toksik supaya terhindar dari segala hal yang berdampak buruk bagi kita.

Beban kerja yang tidak ideal (work-overload)

Work-overload terjadi jika seseorang melakukan pekerjaan kantor yang bukan job-desk-nya dan di luar dari tanggung-jawab atau kewajibannya secara formal. Terlebih jika ini dilakukan melebihi 8 jam batas normal kerja secara terus-menerus.

Hal ini bersifat toksik karena berpotensi membuat job performance seseorang tidak maksimal dan menghambat produktivitasnya (Sudiharto, 2001).

Menurut Hancock dan Meshkati (1988), kondisi ini juga bisa berdampak buruk bagi kesehatan fisik dan mental seseorang karena bisa menimbulkan gangguan medis seperti kelelahan, mudah marah, gangguan pola tidur, sulit konsentrasi, dan cemas.

Kuatnya budaya feodalisme di lingkungan kerja

Budaya kerja di berbagai tempat memang berbeda-beda. Di negara bekas jajahan (termasuk Indonesia) budaya menjajah memang masih terasa kental terutama di lingkungan kerja. Sudah bukan rahasia lagi bahwa sebagian besar tempat kerja memiliki kultur baik ke atas, namun menindas ke bawah (Nova, 2019).

Mereka yang memiliki jabatan lebih tinggi kerap bersikap manis ke atasan dan memanfaatkan posisinya untuk memanfaatkan hingga menindas mereka yang berada di bawah kendalinya.

Parahnya para penganut kultur feodal kerap menganggap orang-orang yang potensial sebagai ancaman yang membahayakan posisi mereka di perusahaan.

Alih-alih memotivasi, mereka kerap memiliki kecenderungan untuk sebisa mungkin menghambat jenjang karir rekan sejawat.

Kuatnya kultur bergosip di kalangan rekan kerja

Jika rekan-rekan kerja Anda gemar bergosip, bisa jadi Anda selama ini berada dalam lingkungan yang toksik.

Mengapa? Karena selain banyak menyita waktu dan pikiran dengan bahasan yang belum tentu benar, rekan kerja yang gemar bergosip akan berpotensi memancing Anda untuk percaya dan memberikan komentar negatif tentang hal yang belum kita ketahui.

Cara paling tepat dan bijak untuk terhindar dari kultur bergosip adalah dengan menghindarinya, mempertahankan cara berpikir positif, dan sebisa mungkin tidak terpancing untuk berkomentar negatif.

Yang terpenting lagi, tidak perlu memberikan celah untuk mereka mengetahui kelemahan kita dan hal-hal yang sifatnya personal. Para penggosip suatu saat akan memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi (bahkan untuk menjatuhkan kita).

Jadi jangan biarkan Anda menjadi korban berikutnya.

Secara sosial, menurut Erving Goffman, manusia memiliki dua layers utama yang terdiri dari frontstage dan backstage. Artinya, apa yang individu tampilkan di publik belum tentu atau mungkin tidak sama dengan apa yang mereka tampilkan di belakang (backstage).

Dalam kaitannya dengan kultur gosip, kita harus paham bahwa kita tidak akan pernah mampu sepenuhnya membaca atau menilai karakter seseorang secara pasti.

Oleh karena itu, kita harus selalu waspada terhadap ucapan yang kita sampaikan ke orang lain dan sangat selektif dalam memilih teman dan membagikan infomasi kepada orang lain.

Baiknya, kita juga harus mulai membiasakan diri untuk tidak cepat menilai orang dari penilaian orang lain karena jika tidak hati-hati kita akan tergiring ke dalam opini yang belum tentu kebenarannya. Di situlah kita sudah terjebak menjadi korban.

Pimpinan otoriter

Salah satu hal yang membuat kita nyaman berada di suatu tempat kerja adalah sosok pimpinan yang inklusif, jujur, tegas, cerdas, dan memiliki leadership yang baik.

Figur pimpinan dengan kualitas-kualitas tersebut akan membuat karyawan dari berbagai level menjadi termotivasi untuk memberikan kinerja terbaik bagi perusahaan.

Namun, jika seorang pimpinan sudah bersikap otoriter, bossy, semena-mena, dan hanya memprioritaskan kepentingannya sendiri, itu adalah tanda bahwa Anda sedang berada di tempat kerja yang toksik.

Mengapa demikian? Karena pimpinan seperti ini berpotensi anti-terhadap segala bentuk umpan balik (feedback) dan kritik dari karyawannya

Padahal, ruang diskusi yang intensif-inklusif antara manajemen dan karyawan sangat penting demi kemajuan suatu perusahaan.

Sebaliknya, pemimpin yang smart dan profesional akan selalu intensif membuka ruang diskusi dengan tim atau karyawannya serta bersedia menerima masukan dan kritik secara jujur-bijaksana alih-alih menutup keran terhadap suara-suara mereka.

Tidak berfungsinya regulasi

Setiap perusahaan pasti memiliki regulasi serta nilai-nilai dasar yang telah ditetapkan secara profesional.

Setiap kebijakan yang diambil seorang pimpinan harus merujuk pada regulasi dan berorientasi pada kepentingan bersama bukan individu atau segelintir orang.

Akan tetapi, jika suatu perusahaan tidak menjalankan atau mematuhi regulasinya sendiri, maka ini akan berpotensi pada tidak berkembangnya suatu perusahaan. Ini sama saja dengan perusahaan yang visi-misinya tidak jelas, dan hanya akan membawa ketidaknyamanan bagi pekerjanya.

Kesimpulannya, setelah mengenali ciri-ciri lingkungan yang toksik, semua keputusan ada di tangan kita, apakah kita mau bertahan atau tidak?

Jika Anda memutuskan untuk segera keluar dari kondisi tersebut, pastikan Anda sudah mendapatkan pekerjaaa yang diinginkan dan belajar menjadi lebih baik dari pengalaman sebelumnya. Pastikan Anda tetap waspada di lingkungan yang baru.

Namun, jika Anda ingin bertahan pun, itu adalah pilihan yang sah-sah saja selama Anda paham risikonya dan mengerti cara memosisikan diri serta mengatur strategi untuk tetap sintas di lingkungan kerja yang banyak menguras energi dan pikiran.

Atau mungkin saja Anda sudah mulai tergerak untuk berpikir tentang perubahan atau revolusi di lingkungan tempat Anda bekerja sekarang.

Semua pilihan ada di Anda!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com