Ada pula orang-orang yang diidentifikasi sebagai gray asexual yang berada di antara aseksualitas dan alloseksualitas (artinya, merasa tertarik secara seksual kepada orang lain). Namun, biasanya hanya mengalami ketertarikan seksual dalam situasi tertentu saja.
Baca juga: Pasangan Suami-Istri yang Intim Secara Seksual Lebih Rukun, Benarkah?
3. Para ace bisa tertarik pada romansa, bisa juga tidak
Beberapa aseksual tetap menikah, sementara yang lain tak ingin memiliki hubungan romantis. Karena itu, biasanya para ace mengidentifikasi diri dengan beberapa istilah lain, yaitu:
Baca juga: Waspadai, 4 Jenis Disfungsi Seksual pada Wanita
4. Aseksualitas bukan disebabkan oleh trauma
Beberapa ace mungkin mengalami trauma seksual, namun, menjadi aseksual tidak hanya disebabkan karena hal itu.
5. Aseksualitas bukanlah orientasi baru
Meski tak dapat dipastikan kapan lahirnya aksesualitas, rupanya orientasi seksual ini bukanlah hal baru.
Menurut Asexual Erotics, sebuah buku yang ditulis pakar studi perempuan dan gender, Ela Przybylo, pada awal tahun 1800-an, ada peneliti yang menulis tentang kurangnya hasrat seksual, atau aseksualitas, meski menggunakan nama lain, seperti anestesi seksual.
Lalu pada 1972, feminis Lisa Orlando menulis “The Asexual Manifesto,” sebuah dokumen yang menguraikan aseksualitas dalam istilah yang kita gunakan kini, serta menjelaskan bagaimana perbedaannya dengan selibat.
Asumsi aseksualitas adalah orientasi baru ini dapat mengasingkan orangtua yang ace dan menempatkan fokus hanya pada generasi muda, melanggengkan mitos bahwa ace hanyalah orang yang belum dewasa atau masih belum menemukan jalan menuju seksualitas.
Baca juga: Ketahui Tanda-tanda Kecanduan Seks dan Cara Mengatasinya
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.