Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Motif Batik Dijadikan Outsole Sepatu, Memangnya Boleh?

Kompas.com - 10/12/2021, 10:12 WIB
Yefta Christopherus Asia Sanjaya,
Wisnubrata

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Baru-baru ini salah satu brand sepatu lokal asal Bandung mendapat teguran dari warganet karena menjadikan motif batik parang sebagai desain outsole sepatu mereka.

Teguran pertama kali dilayangkan oleh akun @k.weisle melalui insta story pada Rabu (8/12/2021).

Kemudian, akun @localprideindonesia turut mengunggah ulang insta story @k.weisle dan langsung menuai perhatian dari warganet lainnya.

Meski brand sepatu asal Bandung tersebut sudah mengakui bahwa pemilihan motif parang sebagai desain outsole sepatu tidak sesuai, nyatanya warganet masih membicarakannya.

Sebagian menganggapnya tidak patut, namun ada juga yang mempertanyakan bagaimana seharusnya menerapkan motif batik tertentu pada suatu produk.

Menurut pakar batik Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Tiwi Bina Affanti, beberapa motif batik memang sebaiknya tidak digunakan secara sembarangan.

Saat dihubungi Kompas.com pada Kamis (9/12/2021), ia setuju dengan teguran dari warganet terhadap pengaplikasian motif parang sebagai desain tapak sepatu.

Baca juga: Motif Batik di Tapak Sepatu Brodo Dipermasalahkan, Apa Alasannya?

"Saya sangat tidak setuju, sebab batik parang diciptakan untuk dikenakan oleh para raja, dengan makna-makna filosofisnya yang luar biasa. Dan, ketika dikenakan di sepatu, menjadi semacam pelecehan budaya aristokrat yang sangat luhur," ujar Tiwi.

Tiwi yang sudah mengampu mata kuliah Proses Batik selama 30 tahun menerangkan, batik merupakan suatu produk yang sungguh berpijak pada seni tradisi.

Oleh karenanya, masyarakat zaman sekarang harus mempelajarinya agar produk fesyen yang dihasilkan memiliki bobot, menjunjung seni tradisi, dan bisa melestarikan batik.

"Termasuk juga penempatan motif parang yang tidak pas, misalnya saja di dinding gapura. Hal tersebut mencermikan bahwa si perancang tidak memiliki jiwa 'uri-uri kabudayan', pemikirannya hanya pada visual, ia tidak tahu maknanya dan tidak tahu cara menghargai budaya," tambahnya.

Penggunaan motif parang

Salah satu contoh motif parang yang biasa digunakan oleh raja. 
Sumber: Buku Batik: Filosofi, Motif, dan Kegunaan karya Adi Kusrianto.Doc. Buku Batik: Filosofi, Motif, dan Kegunaan karya Adi Kusrianto Salah satu contoh motif parang yang biasa digunakan oleh raja. Sumber: Buku Batik: Filosofi, Motif, dan Kegunaan karya Adi Kusrianto.
Tiwi menjelaskan, motif parang di lingkup keraton memiliki tata aturan khusus, baik pada proses pembuatan pola hias, unsur-unsur motif, ukuran motif, hingga struktur penataan motif.

Aturan ini diterapkan untuk menjaga makna yang menyertai motif parang.

Meski demikian, Tiwi menilai dengan adanya kemajuan kebudayaan, motif batik bisa menjadi inspirasi dalam perancangan adi busana.

"Busana pesta bisa diciptakan dengan berbasis motif parang sebagai tampilan estetikanya dan bisa dikembangkan lagi visualnya dengan memodifikasikannya dengan unsur-unsur visual seni lainnya," terang Tiwi.

Baca juga: Bahasa Simbol Motif Batik

Lebih lanjut, ia menerangkan jenis motif parang dan siapa saja yang boleh menggunakannya. Berikut ini diantaranya:

  • Parang rusak: motif ini hanya dikenakan oleh para penguasa atau kesatria
  • Prang Rusak Barong: hanya boleh dikenakan oleh raja
  • Parang Klitik: dikenakan oleh putri keraton
  • Parang Kusumo: dikenakan oleh keturunan raja
  • Parang Tuding: dikenakan oleh para sesepuh keraton.

Gubernur DIY sekaligus Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan HB X menyapa warga melalui tulisan.KOMPAS.COM/YUSTINUS WIJAYA KUSUMA Gubernur DIY sekaligus Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan HB X menyapa warga melalui tulisan.
Tiwi menambahkan, motif parang memiliki makna yang tinggi di setiap guratannya, seperti menggambarkan proses mengarungi kehidupan dan semangat pantang menyerah seperti ombak yang tidak pernah henti.

"Dalam mengarungi kehidupan tidak boleh mudah putus asa, harus senantiasa berjuang guna meraih derajat kemuliaan, kesejahteraan, dan senantiasa harus menjaga hubungannya dengan Tuhannya dan juga dengan sesama manusia itu sendiri."

"Hal tersebut dilukiskan melalui garis-garis parang yang berkesinambungan tanpat putus. Melalui pola lereng diagonal, menunjukkan bahwa kehidupan ini harus dijalani dengan dinamika yang cerah, tetap waspada, memiliki pendirian yang kokoh serta harus memiliki cita-cita yang luhur," terang Tiwi.

Oleh sebab itu, apabila motif parang diaplikasikan sebagai desain tapak sepatu, tentu hal ini merupakan keputusan yang salah.

Tiwi bahkan menilai desain tapak sepatu tersebut sebagai tindakan yang kurang menghargai budaya leluhur.

"Karena pada dasarnya kain batik atau ageman ada di Keraton Ngayogyakarta dan Surakarta yang memiliki sumber yang sama, yaitu Keraton Mataram," imbuh Tiwi.

"Sebagai wastra, batik harus dijaga lestarinya sebagai salah satu cara menghargai makna filosofis maupun makna simbolis yang mengiringinya. Penciptaan batik klasik termasuk parang tidak begitu saja terjadi, namun melalui serangkaian ritual oleh para penciptanya terdahulu," pungkasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com