Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 15/12/2021, 15:20 WIB
Yefta Christopherus Asia Sanjaya,
Lusia Kus Anna

Tim Redaksi

"Anda tidak memiliki sensor yang mengatakan, 'ini tidak masuk akal'," jelas Barrett.

Ketika masuk di tahap REM, pada saat yang sama korteks visual akan meningkatkan aktivitasnya. Pergeseran di otak ini mengatur alur cerita mimpi.

Meski sebagian orang mengklaim tidak pernah bermimpi, tetapi mimpi bersifat universal. Artinya, mimpi bisa dialami oleh siapa saja tanpa terkecuali.

Baca juga: Posisi Tidur dengan Tangan di Dada Sebabkan Mimpi Buruk?

Hal ini diungkapkan oleh Rebecca Spencer, Ph.D, seorang profesor di Departemen Ilmu Psikologi dan Otak di University of Massachusetts Amherst.

“Semua orang bermimpi. Pertanyaannya adalah, 'Apakah Anda ingat jalan ceritanya?'," ucap Spencer.

Ia menerangkan, mimpi bisa cepat hilang karena disimpan dalam memori jangka pendek. Ini artinya, seseorang lebih mungkin untuk mengingat mimpi jika terbangun ketika mimpi sedang berlangsung.

Ini juga bisa menjadi alasan lain mengapa kita seolah-olah lebih banyak bermimpi selama pandemi Covid-19. Para ahli mengatakan, kecemasan menyebabkan lebih sering terbangun di larut malam.

Mengapa bermimpi

Para ilmuwan masih memperdebatkan tujuan biologis dari bermimpi. Salah satu teori terkemuka adalah mimpi berperan dalam menyimpan kenangan penting.

Dalam mimpi, seseorang bisa menghubungkan beberapa peristiwa bermakna di hari tertentu.

Misalnya, ketika ia pernah bertengkar dengan teman atau punya kenangan baik bersama pasangan.

Baca juga: 6 Arti Mimpi Menikah, Maknanya Tak Selalu Baik

Dengan pengalaman sebelumnya yang pernah terjadi akan membantu otak mencari tahu di mana harus menyimpan kejadian baru ini.

Misalnya, jika seseorang mengalami disorientasi oleh perilaku teman yang tidak sesuai dengan karakternya, ia mungkin bermimpi sedang berkeliaran di hutan, tersesat tanpa harapan.

Para ahli juga percaya bahwa mimpi dapat membantu kita mengatasi emosi.

Matthew Walker, PhD, seorang profesor ilmu saraf dan psikologi di University of California Berkeley, menyebut mimpi sebagai "terapi satu malam".

Menurut penelitiannya, mimpi memungkinkan seseorang untuk menghidupkan kembali ingatan hari-hari ketika hormon stres secara alami sedang rendah.

Dan, ketika esok hari telah tiba, kejadian-kejadian itu terasa tidak terlalu mengecewakan dibandingkan kemarin.

Tidak hanya itu, mimpi juga bisa memicu wawasan dan terobosan kreatif. Selama imajinasi di malam hari tidak dibatasi, pikiran dapat mengembara ke arah yang baru.

Sependapat dengan Barrett, Carr menyampaikan bahwa mimpi dapat memberinya pencerahan yang bisa diilhami.

“Mimpi mencerminkan kehidupan nyata kita dan membantu kita meningkatkannya, jika kita memperhatikannya,” kata Carr.

Baca juga: 7 Makanan yang Bisa Memicu Mimpi Buruk

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com