Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Edukasi Gizi Tanpa Amunisi

Kompas.com - 17/12/2021, 08:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Mungkin Anda adalah salah satu pasien yang masih diberi nasihat oleh dokter, “jangan makan sayur hijau” jika anda penderita asam urat.

Begitu pula santan dan durian dituduh dokter sebagai pangan berkolesterol tinggi. Tanpa studi berbasis bukti.

Sementara dokter-dokter yang merawat bayi dan balita, malah giras mempromosikan produk kemasan sebagai ‘pangan sehat’ – sebagaimana dianjurkan sebagian spesialis anak.

Di sisi lain, pemerintah keteteran dengan program edukasi PMBA (pemberian makan bayi dan anak) yang tidak dilirik sebelah mata pun oleh nakes. Bahkan, tidak banyak nakes paham singkatannya.

Baca juga: Pentahelix: Masihkah Relevan untuk Edukasi Gizi?

Di level ‘akar rumput’, publik sama sekali tidak paham apa yang terjadi dengan nalar dan rasionalisasi kompetensi tenaga kesehatan yang diandaikan mengerti soal gizi.

Padahal, di setiap tahapan kehidupan manusia, asupan makan dan minumnya berkontribusi besar terhadap seluruh aspek kesehatan.

Publik juga tidak paham perbedaan ranah klinisi dan edukasi. Sehingga, mereka menuduh ahli gizi masyarakat yang membicarakan edukasi PMBA menyerobot lahan pekerjaan spesialis anak.

Lebih gawat lagi publik (dan nakes sendiri) mengira, ahli gizi masyarakat itu tidak ada. Yang ada (sekali lagi) dokter spesialis gizi klinik.

Kita perlu prihatin bersama sekaligus memberi rekomendasi pentingnya mata ajar gizi masyarakat di kurikulum semua tenaga kesehatan - termasuk dokter.

Dari unggahan di media sosial berdurasi pendek, masyarakat dibuat bingung dengan nakes yang menganjurkan konsumsi produk-produk industri yang semestinya justru dikritisi bukan dianjurkan dibeli.

Dengan semakin mengerikannya penyakit tidak menular yang diakibatkan gaya hidup (hipertensi, diabetes, penyakit jantung dan pembuluh darah serta sindroma metabolik bahkan kanker), maka sudah merupakan seruan keras bagi kita semua untuk menilik materi edukasi kurikulum nakes.

Jangan sampai dokter hanya cekatan menulis resep, sementara aspek promotif dan preventif hanya sebatas omongan, ”Jaga makan, rajin olah raga ya!” Zonk banget, kata anak jaman sekarang.

Pemangku jabatan dan kebijakan barangkali sama sekali tidak menyadari, bahwa mata kuliah gizi tidak ada lagi di kurikulum pendidikan dokter umum.

Diandaikan gizi ‘sempat di bahas’ di blok penyakit dalam, atau stase pediatri – ilmu penyakit anak. Faktanya? Dokter baru lulus saja tidak paham soal seluk beluk makanan pendamping ASI – yang hanya diulas sekilas. Bagaimana mau jadi kontributor percepatan pencegahan stunting?

Baca juga: 5 Dimensi Mindful Parenting dalam Pemenuhan Gizi Anak

 

Dan saat ini para dokter umum yang pendidikannya penuh liku stres itu, menjadi serba takut salah karena batasan kewenangan spesialisasi yang tidak jelas.

Dokter umum hanya seperti tenaga pembuat surat pengantar ke spesialis atau rujukan fasilitas kesehatan yang lebih tinggi. Atau mengobati batuk pilek mencret (yang masyarakat pun sudah pandai ‘mengobati’ dirinya sendiri – bahkan menghajar tubuh dengan antibiotik yang masih bisa dibeli bebas)

Masyarakat kita sudah terlanjur dikondisikan jika punya uang lebih, langsung saja ke spesialis (jika perlu jenjang konsultan) - sebab dokter umum faktanya tidak jauh seperti mantri di pelosok – bahkan bidan ‘jauh lebih keren’ sebab punya kewenangan menangani persalinan sekaligus menerima praktik pribadi yang melayani ibu dan anak sakit.

Baca juga: Berkeluarga Tanpa Edukasi: Mimpi Ngeri Masalah Gizi

Kemiskinan amunisi edukasi gizi tenaga kesehatan menjadikan masyarakat kita masih berorientasi pada obat, atau ‘pengobatan alami’ (yang didapat dari konten medsos) – ketimbang menghormati tubuh dengan memberi asupan nutrisi yang benar.

Sebagian tenaga kesehatan akhirnya mengaku mendapat ‘pengetahuan’ soal nutrisi, justru dengan mengikuti seminar-seminar yang diselenggarakan industri.

Ujung-ujungnya, pengetahuan yang didapat amat selektif dan bersifat berat sebelah. Mereka dibekali amunisi pembelaan berbasis studi versi industri.

Bukan rahasia umum lagi, penelitian atau studi skala besar diikuti kebutuhan biaya besar. Yang mustahil diperoleh dengan cara-cara wajar – apalagi menguras kocek sendiri.

Alhasil penelitian di bidang pangan pun mau tak mau melibatkan kepentingan pemilik modal.

Maka jangan ditanya kenapa di Indonesia, istilah-istilah yang mestinya sudah mendunia, seperti rafinasi dan produk ultra proses itu di mata nakes seperti melihat pinguin berbulu hijau. Bahkan dianggap mengada-ada.

Mereka nol besar dengan pemahaman penggolongan empat bahan pangan menurut NOVA – yang membedakan pangan utuh segar dari produk ultra proses yang miskin kekayaan nutrisi, hanya sebatas daftar komposisi.

Baca juga: Gizi Minimalis: Timpangnya Literasi dan Supervisi

Saya bukan makhluk munafik ekstrimis yang menihilkan kemajuan teknologi pangan. Justru kita bersyukur adanya ilmu baru yang kian seru.

Tapi, bukan untuk menggeser kebutuhan pangan sesungguhnya. Gunakan teknologi pangan untuk menciptakan produk ekspor, agar orang Inggris bisa menikmati kripik manggis atau orang Taiwan tergila-gila mie instan rasa rendang.

Kearifan berpikir dan menghormati tubuh sebagai kesatuan holistik menjadi kian kabur, tatkala etik hanya dibahas sebatas keelokan berprofesi dan sopan santun jabatan.

Mahasiswa rumpun kesehatan semestinya belajar perbedaan ranah kodrat dan teknokrat. Agar teknologi tidak kesasar tidak pada tempatnya. Agar kemajuan bisa dinikmati tepat sasaran dan tidak menyisakan risiko masa depan.

Kita butuh para pengajar, dosen, yang secara komprehensif dan kompeten menyampaikan landasan keilmuan yang menghasilkan tenaga kesehatan, bukan hanya pintar secara kognitif tetapi juga cerdas mengaplikasikan pengetahuannya secara arif dan bijak.

Teknologi mestinya membuat ikan-ikan kita hasil tangkapan nelayan bisa dibekukan di tempat dalam keadaan segar, sehingga dinikmati penduduk di pelosok tanah air yang jauh dari pantai.

Bukan teknologi membuat produk kemasan rasa ikan – yang ikan utuhnya sudah tak nampak lagi.

Jika demokrasi di ranah politik membuat masyarakat bergeliat berpendapat dan membuka suasana menjadi dewasa, maka demokrasi di ranah edukasi gizi tanpa amunisi akan berakibat kita ditertawakan sebagai negara pemakan kemasan – padahal tanah airnya kaya produk kupasan.

Sebab yang dikupas dan ditangkap dari laut lepas dijual ke tanah asing, yang rakyatnya lebih melek gizi dan anak-anaknya tumbuh tinggi.

Sementara kita lebih menghargai majunya ekonomi dan industri. Berharap produk industri bisa mengalahkan hasil bumi. Demi kelihatan modern praktis ekonomis. Wallahualam wisawab.

Baca juga: Anak Stunting karena Kurang Gizi, Lebih Baik Mencegah daripada Mengobati

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com