Orang juga dapat dihadapkan pada integritas tubuhnya sendiri.
"Mereka mungkin berpikir, 'Saya pikir tubuh saya bisa melakukan ini dan tidak, apa yang dikatakan tentang saya?'" kata Leigh.
Perasaan ini bisa dikaitkan dengan bagaimana orang tersebut mengidentifikasi dengan feminitas dan maskulinitas.
Rita Alesi mengatakan progam bayi tabung seringkali jadi momen perdana pasangan ditantang secara emosional dan psikologis pada saat yang bersamaan.
"Bagi pasangan, berbagi pengalaman IVF adalah berkah sekaligus kutukan," jelasnya, dikutip dari laman ABC Everyday.
Biasanya, hanya salah satu pihak yang mengalami tantangan baik dalam hal pekerjaan maupun urusan personal.
Pihak lainnya bisa memberikan dukungan dan mempertahankan objektivitas untuk membantu pasangannya.
Namun saar menjalani program bayi tabung, keduanya mengalami titik terendah secara bersamaan.
Seringkali, coping mechanism yang dipilih berbenturan dan memicu ketegangan dalam hubungan.
Baca juga: Mengapa Tren Program Bayi Tabung di Indonesia Meningkat?
Ada juga perasan benci dan bersalah jika masalah kesuburan ini lebih banyak dipicu salah satu pihak.
Bronwyn Leigh menyebutkan, lasan paling umum orang menghentikan program bayi tabung adalah karena itu lebih sulit daripada yang diperkirakan.
"Bahkan ketika mereka memiliki prognosis yang baik, di mana mereka telah diberitahu bahwa perawatan IVF akan berhasil untuk Anda dalam waktu tertentu, terlalu tertekan adalah alasan utama untuk berhenti."
Masalah kesehatan mental ini tak hanya muncul ketika proses bayi tabung atau ketika gagal hamil.
Ketika metodenya sukses dan janin sudah dikandung, banyak juga yang masih merasakan gangguan emosional.