Tetapi, sekarang kita semua semakin sadar akan hal ini. Bahkan, rol perawatan kulit yang membantu penetrasi skincare menjadi lebih populer dari sebelumnya.
Selain itu, baru-baru ini juga ada Droplette, teknologi skincare yang dikembangkan MIT dan didanai NASA untuk menggabungkan fisika fluida dengan kecantikan.
Teknologi ini bekerja dengan memecah bahan aktif skincare menjadi kabut mikro dan kemudian menembakkan kabut ini ke kulit dengan kecepatan tinggi.
Artinya, produk skincare akan lebih mudah diserap dibandingkan hanya mengaplikasikannya secara manual saja.
Baca juga: 8 Tren K-Beauty yang Patut Dinanti di Tahun 2022
Survei menunjukkan bahwa merek skincare yang menggembar-gemborkan transparansi bahan akan semakin populer.
Di samping itu, klaim bahwa skincare mudah terurai secara hayati dan berkelanjutan juga bukan lagi bonus, tetapi sudah menjadi persyaratan yang mutlak.
Konsumen ingin lebih tahu tentang apa yang ada dalam produk mereka dan memang seharusnya begitu.
Hal ini pun menyebabkan banyak perusahaan skincare mengarahkan produknya agar diformulasikan dengan bahan-bahan yang lebih berkelanjutan, baik melalui pengemasan atau kandungan isinya untuk mengurangi jejak karbon.
Menurut pendiri Codex Beauty dan anggota dewan EWG, Barb Paldus, PhD, jika kita tidak dapat membuat pilihan yang berkelanjutan saat membuat suatu produk — meskipun biayanya lebih mahal — maka kita tidak layak untuk menciptakan sebuah merek.
Skin-ification dari perawatan rambut secara resmi menjadi arus utama. Artinya, ada lebih banyak tumpang tindih antara perawatan rambut dan perawatan kulit, terutama dengan fokus baru pada kulit kepala.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.