Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Tahun Baru dan Resolusi: Masih Percaya Diri atau Sebatas Mimpi?

Kompas.com - 31/12/2021, 17:01 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Bicara janji (pada diri sendiri) di awal tahun, biasanya mirip lapak yang sedang obral besar.

Semua yang belum kesampaian biasanya masuk dalam daftar pencapaian. Mumpung tahunnya masih anyar.

Yang paling favorit tentunya mimpi tentang hidup sehat. Ada yang punya nazar menyisihkan beberapa kilo bobot – sebaliknya ada yang mengidamkan tubuh lebih berotot. Ada yang gigih ingin melawan nafsu makan yang lagi-lagi nagih.

Ada yang punya mimpi investasi – dari ekonomi hingga edukasi. Ada yang berniat punya hubungan cinta saling mengikat.

Baca juga: Ayo, Jadikan Kesehatan Jantung untuk Resolusi Tahun 2022

Sepintas lagunya klasik: tahun meraih mimpi. Ada yang skala pribadi, hingga yang punya skala seluruh negri. Keduanya tentu ‘related’ – istilah anak muda sekarang – saling berhubungan.

Sebab jika tiap individu lebih sehat, tentu imbasnya negara makin kuat karena dibangun oleh SDM bermutu dan Jaminan Kesehatan Nasional bisa dihemat.

Sebab jika keuangan rumah tangga membaik, artinya pendapatan per kapita ikut naik – logikanya wajah perekonomian negara semakin apik. Diandaikan cara pikir linier hubungan sebab akibat terjadi begitu.

Tapi dinamika hidup manusia diwarnai pola berpikir lateral, yang membuat kita semua berada di situasi seperti sekarang.

Jargon keterbaruan dan keterkinian sains: “Demi masa depan yang lebih baik” sudah lama digarisbawahi para pemikir kritis, masa depan yang lebih baik bagi siapa?

Agar tidak terlalu melenceng, saya kupas dari masalah tren kecukupan pangan saja. Selama ini pokok bahasan ilmu gizi di Indonesia masih berkutat di masalah kalori dan berderet-deret mineral yang mesti dipenuhi sejak usia bayi.

Maka tak heran semua orang yang merasa pintar berhitung dan rajin utak atik tabel komposisi pangan, riuh rendah meramaikan media sosial dengan pelbagai resep makanan bayi hingga resep diet buat ibu bapaknya.

Peluang pun ditangkap para pelaku bisnis yang jeli: klop dengan karakter masyarakat yang rajin beli-beli.

Bicara ikan teri kaya kalsium dan bisa menjadi sumber protein baik bagi bayi saja, dalam sekejap muncul iklan menawarkan botol-botol lucu berisi bubuk ikan teri.

Menghalalkan mimpi si ibu untuk punya anak tidak stunting, tapi bingung ikan teri beli di mana dan mau dimasak apa.

Alhasil bubuk teri cukup ditabur model obat puyer di atas bubur bayi. Sebab bapak ibunya sudah tidak makan pepes atau gadon teri lagi. Mereka asik mukbang Samyang ramyeon dan antre bolu negri Sakura yang ‘lumer di lidah’.

Mengandaikan keren makan ala-ala, dikira orang Korea dan Jepang jadi sehat dengan makan seperti itu. Ampun!

Baca juga: Menu Makanan Tahun Baru di Berbagai Negara, Kaya Makna dan Harapan

Halaman Berikutnya
Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com