Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Diet Puasa Berdampak pada Kesehatan Mental, Bagaimana Bisa?

Kompas.com - 12/01/2022, 07:02 WIB
Anya Dellanita,
Glori K. Wadrianto

Tim Redaksi

Sumber SHAPE

 

Pengaruhi kesehatan mental

Apa pun metode yang dipilih, intermittent fasting dapat dan kemungkinan akan berpengaruh pada kesehatan mental. Misalnya, berikut ini.

  • Memengaruhi mood

Perlu diketahui, perut yang cukup kosong dapat menimbulkan perasaan mudah tersinggung dan marah.

Karena itulah, diet puasa kemungkinan akan membuat suasana hatimu berubah.

"Merasa rewel? Itu terjadi karena penurunan kadar gula darah dan lonjakan kortisol (hormon stres) yang terjadi ketika orang menjadi sangat lapar."

Demikian diungkapkan Susan Albers-Bowling -psikolog di Cleveland Clinic, dan penulis buku Eat Mindfully and Hanger Management.

Selain itu, kenaikan gula darah yang melonjak saat mendadak makan dapat berpengaruh buruk bagi penderita diabetes.

Baca juga: Sama-Sama Gula, Apa Bedanya Sukrosa, Glukosa, Fruktosa?

Sebab, hal ini dapat menyebabkan kurangnya kontrol glukosa darah dan dapat memengaruhi pengobatan diabetes dan kebutuhan insulin.

Merasa agresif? Itu juga disebabkan rasa lapar.

Pasalnya, ada hormon yang disebut neuropeptida Y, sebuah hormon yang memberi sinyal pada seseorang untuk menjadi lebih agresif ketika mereka benar-benar lapar.

  • Kecemasan meningkat

Semakin banyak kortisol mengalir ke seluruh tubuh, semakin besar pula kemungkinan kita akan merasa stres.

"Ada beberapa bukti bahwa perilaku diet yang dibatasi dapat meningkatkan hormon stres kortisol, yang dapat menyebabkan perubahan preferensi makanan dan keinginan serta suasana hati," kata Ansari.

Lalu perlu diketahui, tingkat kortisol yang tinggi juga dikaitkan dengan peningkatan penyimpanan lemak, jadi jika kita mencoba menurunkan berat badan, intermittent fasting berpotensi merugikan.

  • Membuat lelah

Sementara sebuah studi percontohan kecil menemukan bahwa diet puasa berpotensi meningkatkan kualitas tidur.

Penelitian lain menunjukkan, metode diet ini malah cenderung menyebabkan masalah tidur.

Selain itu, menurut sebuah penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Nature and Science of Slee, berpuasa dapat menurunkan jumlah tidur REM (tidur malam dengan mata terutup yang sangat nyennyak), akibat karena peningkatan kortisol dan insulin tubuh saat berpuasa.

Lalu, bergantung pada metode diet puasa yang dipilih, yang mungkin dapat membuat kita berhenti makan beberapa jam sebelum tidur.

Baca juga: Diet Puasa Tak Terlalu Bermanfaat untuk Menurunkan Berat Badan

Kondisi ini bisa jadi positif, sebab, makan di dekat waktu tidur tidak baik, dan berpotensi menyebabkan kenaikan berat badan, refluks asam dan gas yang berlebihan, serta sulit tidur.

Namun, menurut ahli diet Michal Hertz, perut yang kosong dan keroncongan bisa membuat sulit untuk memejamkan mata.

Perlu diingat, kesehatan mental secara umum bergantung pada tidur yang cukup.

Sebab, kebiasaan, kualitas, dan durasi tidur dapat membuat diri lelah dan menghancurkan suasana hati pada hari berikutnya.

  • Kesepian

Tidak bisa makan selama periode waktu tertentu juga dapat memengaruhi situasi sosial dengan teman dan keluarga yang melibatkan makanan.

Hal ini dapat menyebabkan perasaan kesepian dan isolasi sosial. Bahkan menurut American Psychological Association, hal ini dapat berkembang menjadi depresi.

Melewatkan interaksi sosial karena pembatasan diet juga merupakan gejala khas anoreksia.

Menurut National Eating Disorders Association, mereka yang menderita anoreksia biasanya hanya memiliki sedikit teman, membuat aktivitas sosial, dan dukungan sosial yang diterimanya lebih sedikit.

  • Meningkatkan risiko kelainan makan

Baik Albers-Bowing dan Hertz meyakini, aturan ketat intermittent fasting terkait kapan boleh dan tidak boleh makan dapat memicu seseorang mengalami gangguan makan.

Mereka berpendapat, pada dasarnya, anoreksia adalah tentang membuat batasan dan aturan kaku tentang makan.

Anoreksia mengabaikan rasa lapar dan kenyang, dan memikirkan makanan jika lapar, semuanya berpotensi diperburuk oleh intermittent fasting.

Selain itu, diet ini dapat menyebabkan rasa takut kehilangan kendali atas makanan makanan.

Juga, berdampak pada pola makan berlebihan selama hari-hari yang tidak dibatasi, yang merupakan gejala gangguan makan berlebihan.

Baca juga: Diet Puasa Picu Lenyapnya Massa Otot, Benarkah?

Bahkan faktanya, satu penelitian menemukan, wanita yang mengurangi asupan kalori hingga 70 persen selama empat hari dan kemudian makan "secara normal" selama 3-4 minggu, memiliki lebih banyak pikiran terkait makan.

Kelompok ini juga mengalami peningkatan rasa takut atas kehilangan kendali, dan memiliki kecenderungan untuk makan berlebihan saat tidak ada batasan makan.

Intermittent fasting juga bisa menutupi gangguan makan yang sudah ada, misalnya dengan mengatakan, “Oh, saya tidak makan karena saya sedang menjalani diet puasa yang baru..."

Jadi, jika menemukan bahwa kita tidak bisa melupakan makanan atau makan lebih banyak daripada ketika tidak melakukannya, maka kemungkinan besar diet puasa bukan untukmu.

Bahkan, jika memiliki riwayat makan yang tidak teratur atau sempat berhubungan buruk dengan makanan, para ahli menyarankan untuk menghindari diet puasa sama sekali.

  • Memengaruhi kemampuan kognitif

Berpuasa untuk jangka waktu yang lama dapat membuat kita mengambil lebih banyak keputusan jangka pendek yang terburu-buru karena neurotransmitter di otak berubah.

Bahkan, membatasi asupan makanan yang meningkatkan kadar serotonin dapat menyebabkan lebih sedikit zat kimia yang membuat diri merasa baik di otak. Akhirnya, kita menjadi lebih impulsif.

Baca juga: Kondisi yang Berbahaya untuk Melakukan Diet Puasa

Jadi, perlukah dicoba?

Menurut Ansarai, intermittent fasting bukan untuk semua orang. Sebab, diet ini dapat membuat beberapa orang mengalami risiko kesehatan tinggi.

Misalnya untuk para penderita diabetes, wanita yang sedang hamil atau menyusui-karena nutrisi yang tidak memadai dapat membahayakan bayi yang sedang tumbuh atau menyusui-, dan mereka yang memiliki riwayat gangguan makan.

Namun, seperti halnya rencana makan, ini adalah pilihan pribadi.

Jika memutuskan untuk melanjutkannya, Ansari merekomendasikan untuk menghubungi ahli gizi, sebelum memastikan kita masih memenuhi kebutuhan nutrisi optimal meski berpuasa.

Selain itu, perhatikan tubuh, termasuk perut dan pikiran. Jika beralih ke cara makan rendah karbohidrat atau ketogenik, kita mungkin akan menemukan rasa lapar dan puasa menjadi mudah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Sumber SHAPE
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com