Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 18/01/2022, 17:51 WIB
Gading Perkasa,
Glori K. Wadrianto

Tim Redaksi

Sumber CNN

KOMPAS.com - "Begini nasib jadi bujangan, ke mana-mana asalkan suka, tiada orang yang melarang."

Penggalan lagu Koes Plus berjudul "Bujangan" itu seolah menggambarkan betapa enaknya menjalani hidup sebagai bujangan.

Namun, berstatus bujangan ternyata memiliki efek berbahaya bagi kesehatan.

Studi terbaru yang dimuat dalam jurnal BMJ menemukan, kesendirian dalam waktu lama bisa berdampak buruk bagi kesehatan, khususnya untuk pria.

Studi tersebut mengamati sampel darah 4.835 responden dari Copenhagen Aging and Midlife Biobank.

Para peneliti mencoba untuk memeriksa tingkat peradangan pada setiap peserta.

Baca juga: 17 Cara Membunuh Rasa Kesepian, Bisa Dicoba...

"Kami menemukan hubungan yang signifikan antara putusnya hubungan atau bertahun-tahun hidup sendiri dan peradangan hanya pada pria, setelah menyesuaikan faktor tertentu."

Demikian dikatakan Dr Karolina Davidsen, penulis studi dan research associate di Department of Public Health di University of Copenhagen, Denmark.

"Pada wanita, kami tidak menemukan efek seperti itu."

Studi ini mengamati periode di mana individu hidup sendiri dan jumlah kandasnya hubungan asmara. Sebab, akhir dari suatu hubungan seringkali diikuti oleh periode hidup dalam kesendirian.

Kaitan antara perasaan kesepian dan masalah kesehatan yang merugikan sudah didokumentasikan dalam banyak studi lain.

Begitu penjelasan Dr Peter Libby, spesialis pengobatan kardiovaskular di Brigham and Women's Hospital. Ia tidak terlibat dalam studi dari University of Copenhagen.

Menurut Libby, studi terbaru memperkuat hubungan antara kesepian dan masalah sistem saraf dan peradangan, yang merupakan pemicu signifikan penyakit jantung.

"Ada peningkatan pemahaman tentang hubungan mendasar antara stres psikologis dan variabel biologis yang terkait peradangan," kata Libby.

Peserta wanita yang berpartisipasi dalam studi tidak menunjukkan hubungan yang kuat antara melajang atau putus cinta dengan peradangan.

Davidsen mencatat, kemungkinan hasil ini disebabkan oleh jumlah peserta wanita yang lebih sedikit dibandingkan pria dalam studi tersebut.

Baca juga: Cara Mengatasi Rasa Kesepian demi Hidup yang Lebih Sehat

Ia menambahkan, tingkat peradangan pada peserta kemungkinan juga berbeda jika diukur berdasarkan usia.

Usia rata-rata peserta yang diteliti adalah 54,5 tahun, dan ada potensi dampak putus cinta atau hidup sendiri dalam waktu lama akan berlanjut seiring bertambahnya usia peserta.

Memilih untuk single vs merasa kesepian

Apa tindakan yang perlu dilakukan seseorang yang hidup sendiri --entah karena pilihan atau keadaan?

"Salah satu saran mungkin agar tenaga kesehatan profesional menyadari kelompok berisiko ini yang mungkin hidup dengan faktor risiko sosial tambahan yang biasanya tidak diperhitungkan," ungkap Davidsen.

Sementara itu, Libby menyarankan individu yang hidup sendiri untuk menjalani gaya hidup sehat, mengingat risiko peradangan dapat meningkat akibat kesendirian.

"Ketika menghadapi kesulitan dalam bentuk apa pun, aktivitas fisik secara teratur dan diet sehat bisa menolong kesejahteraan, baik psikologis maupun biologis," cetus Libby.

Hidup sendirian memiliki banyak manfaat dan risiko

Kesendirian dikaitkan dengan penurunan kondisi kesehatan, kesejahteraan dan kognisi. Namun, bukan berarti orang yang hidup sendiri selalu merasa kesepian.

Dalam beberapa tahun terakhir, studi menunjukkan lebih banyak orang tidak menikah dan hidup sendiri.

Data yang ada mengungkapkan perasaan kesepian menurun di usia 50 tahun hingga pertengahan 70-an. 

Demikian dijelaskan Louise Hawkley, ilmuwan senior di organisasi penelitian nonpartisan NORC di University of Chicago.

Sama seperti Libby, Hawkley juga tidak terlibat dalam studi yang dilakukan Davidsen beserta tim di University of Copenhagen.

Baca juga: Pilihan Hidup Melajang Tak Selalu Berujung Kesepian

Melajang bisa membawa keuntungan

Elyakim Kislev, asisten profesor di The Hebrew University of Jerusalem menyatakan, menjadi lajang merupakan keuntungan bagi orang tertentu.

Kislev menganalisis database AS dan Eropa, termasuk Biro Sensus AS dan Survei Sosial Eropa.

Ia menganalisis database tersebut sebagai bagian dari studi yang meneliti tren hidup melajang dan apa yang membuat individu merasa bahagia dengan status lajang.

Kemudian, Kislev memelajari pola hubungan di lebih dari 30 negara. Ia mewawancarai lebih dari 140 orang berstatus lajang di AS dan Eropa yang berusia antara 30-78 tahun.

Orang-orang yang diwawancarai Kislev memiliki gender, seksualitas, latar belakang sosial ekonomi serta etnis berbeda.

Baca juga: Mengapa Ada Orang yang Sangat Takut Melajang?

Ditemukan, perbedaan nyata antara lajang yang bahagia dengan yang tidak terletak pada cara mereka memandang stereotip lajang.

Beberapa lajang yang bahagia memiliki pengalaman yang seru, seperti bepergian atau mencari hobi baru.

"Mereka menggunakan waktu untuk mengisi ulang dan berfokus pada diri mereka selama melajang," kata Kislev.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com