Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hentikan Kebiasaan Memukul Bokong Anak, Sadari Dampaknya...

Kompas.com - 31/01/2022, 16:49 WIB
Anya Dellanita,
Glori K. Wadrianto

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Spanking atau memukul bokong anak merupakan salah satu cara mendisiplinkan anak yang tak jarang dipakai juga oleh orangtua di Indonesia.

Namun, nampaknya kebiasaan ini harus dihentikan. American Academy of Pediatrics (AAP) pada 2018 silam, mengungkap alasan di baliknya.

Berbagai studi menunjukkan, memukul bokong anak memiliki lebih banyak dampak negatif dibanding manfaat positif.

"Pernyataan AAP mencakup data yang menunjukkan bahwa anak-anak yang bokongnya dipukul saat masih kecil cenderung suka melawan."

"Mereka juga tumbuh dengan perilaku lebih agresif saat memasuki usia prasekolah dan sekolah."

Baca juga: Orangtua di Eropa Dilarang Memukul Bokong Anak

"Lalu, mereka cenderung memiliki peningkatan risiko gangguan kesehatan mental dan harga diri yang lebih rendah."

Demikian pemaparan dokter anak Karen Estrella di laman Cleveland Clinic.

Penelitian pada 20 tahun terakhir juga menunjukkan, memukul bokong akan meningkatkan agresi dan tidak efektif dalam mengubah perilaku anak.

Selain itu, memukul bokong juga dikaitkan dengan meningkatnya risiko gangguan kesehatan mental dan terganggunya perkembangan otak.

Lalu, perubahan pola asuh yang melibatkan memukul bokong anak ini bukan hanya diperhatikan oleh para tenaga medis profesional.

Pada sebuah survei di tahun 2013 di Amerika Serikat menunjukkan, orangtua yang memukul bokong anaknya mulai berkurang menjadi sekitar 50 persen.

Padahal, pada generasi yang lebih tua, jumlahnya ada di angka 70 persen atau lebih.

Tidak efektif mendisiplinkan anak

Memukul bokong memang akan membuat anak takut sesaat. Namun kedepannya, perilaku ini hanya membuat anak menormalisasi konsekuensi dipukul.

Bahkan, anak bisa menjadi agresif dan membuat adanya konflik antara anak dan orangtua.

Menurut Estrella, anak menjadikan orangtua sebagai role model. Karena itu, perilaku agresif orangtua hanya akan membuat anak berperilaku negatif.

AAP juga mengatakan, kekerasan verbal atau memerahi dengan menghina dan mempermalukan anak dapat berdampak negatif bagi perkembangan otak.

Baca juga: Menghukum dengan Pukul Bokong Anak? Pertimbangkan 6 Hal Ini Dulu

“Penelitian menunjukkan, anak-anak yang terpapar stres beracun memiliki perubahan kapasitas kognitif di kemudian hari,” kata Estrella.

Strategi disiplin yang lebih baik

Dibandingkan memukul bokong, ada beberapa perilaku mendispilinkan yang lebih baik, seperti:

  • Membangun hubungan orangtua-anak yang positif dan suportif agar anak punya alasan untuk berlaku baik.
  • Gunakan perilaku positif untuk mendorong anak berperilaku.
  • Jika diperlukan, gunakan metode pendisiplinan lain seperti time out atau menyita benda favorit anak sementara.

Dokter Estrella juga memberi beberapa tips tambahan, seperti berikut ini.

  • Jadilah role model

Tetaplah tenang dan memahami bahwa anak akan selalu mencontoh kita da;am berperilaku,

  • Buat peraturan dan batasan yang dapat dipenuhi semua pengasuh

Pastikan tidak ada orang baik atau orang jahat bagi anak yang memiliki beberapa pengasuh.

Lalu, pastikan pula semua peraturan disampaikan dengan bahasa yang sesuai usia anak.

  • Puji perilaku baik

Perhatikan perilaku baik yang dibuat anak. Tunjukkan bahwa kita bangga saat anak berlaku baik.

  • Tidak merespons anak di saat tertentu

“Mengabaikan perilaku buruk, misalnya jika seorang anak menjatuhkan dirinya ke lantai karena dia tidak diizinkan bermain di iPad, adalah cara yang baik untuk membuat perilaku itu berkurang seiring waktu,” kata Estrella.

Baca juga: Sekalipun Marah, Jangan Pernah Pukul Bokong Anak...

Dengan ini anak akan berlajar, mengamuk tidak akan membuatnya mendapatkan yang dia mau.

  • Belajar dari pengalaman

Jika orangtua dapat mengidentifikasi pemicu perilaku buruk anak, orangtua dapat menghindarinya atau setidaknya dapat bersiap-siap.

Pastikan juga anak memahami konsekuensi yang akan mereka dapatkan jika tidak memenuhi permintaan kita atau berperilaku buruk.

  • Arahkan kembali perilaku buruk

Ganti “jangan lakukan itu” menjadi perilaku yan hanya dapat dilakukan anak.

Misalnya, jika anak mengambil mainan dari temannya, tawarkan mainan lain bagi anak atau berikan anak kegiatan lain sambil menunggu gilirannya,

Gunakan metode yang sama saat dalam situasi menang/kalah.

  • Time out” jika anak melanggar suatu peraturan

Bawa anak keluar dari suatu situasi untuk sementara. Lalu, jelaskan mengapa kita melakukannya dengan frasa singkat.

Jika anak sudah bertambah besar, biarkan anak mengatur waktu time out-nya dengan mengatakan, “Pergilah dulu dan kembali jika sudah siap dan tenang.”

Hal ini akan mengajarkan anak memahami emosi, perilaku, dan konsekuensi yang harus diterima.

Estrrella juga menyarankan untuk berdiskusi dengan dokter anak terkait perilaku anak dan apa stategi yang harus dilakukan.

“Jika diperlukan, psikolog anak dan sumber daya masyarakat dapat menghadirkan kelas pengasuhan sebagai dukungan tambahan,” cetus dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com