Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Literasi Gizi Masa Kini: Kita Makin Berdaya atau Diperdaya?

Kompas.com - 31/01/2022, 17:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Butuh waktu berhari-hari untuk merenungkan kembali isi tulisan saya kali ini. Hari gizi nasional baru saja lewat, dengan berbagai rasa berkecamuk.

Di satu sisi, saya bangga semakin banyak orang mulai kritis melek gizi. Tapi di sisi lain, ketika matahari mulai terbit justru awan gelap menghadang – meningkatnya kekritisan publik tidak didukung, apalagi didorong lebih maju oleh imbangan para pakar yang sungguh-sungguh berdiri di atas kekayaan negri sendiri.

Atas nama globalisasi dan entah alasan apa, dimulai dari bayi yang belajar makan pertama kali hingga anak usia sekolah sudah terpapar dengan aneka produk dan barang dagangan yang ‘bisa dimakan’.

Baca juga: Edukasi Gizi Tanpa Amunisi

Sempat seru di media sosial, saat saya ‘mempermasalahkan’ santan kemasan dan keju olahan. Berbagai reaksi muncul dengan amat tidak terduga. Bahkan dari lapisan yang saya harapkan bisa lebih kritis.

Terlepas dari istilah kepraktisan dan kewarasan (atau kemalasan) yang kerap jadi alasan, dalam situasi normal sehari-hari, apa kata dunia jika orang Indonesia mengonsumsi aneka produk kemasan dan olahan, yang sebenarnya bahan segar aslinya mudah didapat dan ada di seluruh nusantara?

Sedih sekali saat seorang ibu muda dengan lugunya bertanya di kolom komentar, “Dok, apakah butuh air di kelapa parutnya untuk membuat santan?”.

Begitu pula kelatahan menggunakan keju untuk ‘perasa’ di makanan lumat pertama bayi. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini, jejaring belanja online meraup untung berjualan ‘paket Makanan Pendamping ASI’ yang dimeriahkan aneka minyak impor dan keju.

Hingga ke pelosok tanah air, yang orangtuanya saja cuma masak dengan minyak kelapa seadanya.

Para profesional kesehatan yang mestinya lebih kritis dan meluruskan kembali ‘yang sudah belok sana sini’ kembali ke panduan nasional, malah salah fokus bahkan menjadi ikon pembela produk.

Semakin kebablasan, hingga ada yang menertawakan cara-cara tradisional mengolah santan dan bumbu – dengan mempertontonkan kejorokan yang irasional dan sama sekali tidak masuk akal. Apakah bangsa kita sungguh-sungguh sudah seperti kacang lupa kulit?

Era industrialisasi yang mendewakan jargon tepat, cepat, akurat, praktis, efisien dan murah jika secara gegabah diterapkan pada tubuh manusia yang tidak bekerja dengan kaidah teknokrat, maka tanpa disadari kita mulai menginjak-injak kaidah kodrat.

Harga termahal yang harus dibayar adalah badai penyakit akibat gaya hidup, yang akan memaksa manusia kembali ke fitrah dengan rasa malu dan tubuh yang sudah terlanjur babak belur.

Betapa menyedihkannya jika di negara yang lebih maju, bayi dan anak-anak didorong hidup lebih sehat, rekomendasi badan dunia seperti WHO dan UNICEF menganjurkan bahan pangan lokal yang mudah didapat dan murah serta familiar – tapi di tanah air kita sendiri malah terjadi hal sebaliknya, anak-anak diperkenalkan gorengan sejak dini demi asupan lemak (yang bisa didapat dengan cara lebih sehat) bahkan makan buah saja dibuat begitu aneh menjadi guyuran fla di atas ‘pancake’.

Dan ini semua dipelajari para ibu muda yang sama sekali tidak paham, bahwa buah lokal yang murah bagi bayinya semakin sehat dikonsumsi apa adanya.

Ibu ini juga tidak berpikir cukup jauh saat bayinya remaja nanti berisiko hanya bisa makan buah dengan guyuran krim atau susu kental manis, jika sejak bayi tidak pernah diajar merasakan buah ‘dengan rasa aslinya’.

Dunia sudah mempunyai banyak kisah sedih para bayi-bayi terpaksa diare, alergi hingga terancam kematian akibat susu formula yang meledak menjadi pujaan para ibu sejak lima puluh tahunan yang lalu.

Secara global para ibu didorong kembali menyusui anaknya, menerapkan inisiasi menyusu dini saat proses kelahiran dan asi eksklusif selama 6 bulan, diteruskan hingga 2 tahun atau lebih setelah anaknya mulai makan.

Saat kesehatan anak terganggu, mulai dari flu hingga diare, ASI menjadi penyelamat karena selain merupakan satu-satunya gizi seimbang bagi bayi, juga antibodi (yang tidak pernah ada di susu formula) mempercepat proses kesembuhan.

Menyikapi aksi bersama mencegah stunting dan obesitas, analogi paradigma berpikir serupa perlu dijadikan fokus perhatian.

Baca juga: Berkeluarga Tanpa Edukasi: Mimpi Ngeri Masalah Gizi

 

Hingga kini, belum ada studi berimbang yang membandingkan tumbuh kembang bayi yang diberi produk kemasan praktis dengan bayi yang diberi makanan pendamping ASI buatan ibu yang teredukasi baik.

Justru menjadi tanda tanya besar, apabila ibu telah terlena dengan pangan kemasan sejak pertama bayinya makan, lalu bagaimana cara ibu memberi makan bayinya di saat fungsi mengunyah dan makan mandiri sudah harus berjalan?

Baca juga: Hari Gizi Nasional, Pentingnya Nutrisi untuk Daya Tahan Tubuh

Mengatasi stunting sekaligus obesitas, tidak cukup dengan menciptakan satu cara jitu apalagi mengandalkan produk industri.

Alih-alih masalah gizi teratasi, jangan-jangan kita harus bertanggungjawab atas risiko hari depan akibat salah langkah.

Edukasi masyarakat dan orang tua memang bukan semudah ceramah – apalagi tidak semua tenaga kesehatan dan tenaga pelaksana gizi fasih, terampil, serta terlatih berkomunikasi untuk mengubah perilaku.

Bisa jadi lebih mudah melatih mereka berjualan produk ketimbang jadi teladan.

Tidak boleh ada satu program primadona dalam upaya pencegahan stunting dan obesitas. Justru kita perlu memulai dari ‘yang paling sulit’ tapi paling menjanjikan dan berdaya ungkit besar: literasi gizi.

Mendidik publik menjadi kritis, mampu membedakan pangan yang dibutuhkan dari yang sekadar dicandukan, sanggup menata manajemen kerja dan keluarga – bukan demi karir lalu pangan anak kocar kacir.

Dapat memilah sumber data dan berita, membedakan tontonan dari tuntunan. Dengan begitu, era digital melek informasi membuat bangsa ini tumbuh dalam arti sesungguhnya, tanpa menyisakan nestapa di generasi selanjutnya.

Baca juga: MPASI ala Generasi Dapur Ngawur

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com