Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Medio by KG Media
Siniar KG Media

Saat ini, aktivitas mendengarkan siniar (podcast) menjadi aktivitas ke-4 terfavorit dengan dominasi pendengar usia 18-35 tahun. Topik spesifik serta kontrol waktu dan tempat di tangan pendengar, memungkinkan pendengar untuk melakukan beberapa aktivitas sekaligus, menjadi nilai tambah dibanding medium lain.

Medio yang merupakan jaringan KG Media, hadir memberikan nilai tambah bagi ranah edukasi melalui konten audio yang berkualitas, yang dapat didengarkan kapan pun dan di mana pun. Kami akan membahas lebih mendalam setiap episode dari channel siniar yang belum terbahas pada episode tersebut.

Info dan kolaborasi: podcast@kgmedia.id

Memahami Kendali, Kunci Bahagia Ala Stoisisme

Kompas.com - 03/02/2022, 08:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Fauzi Ramadhan & Ikko Anata

SEBELUM mengikuti ujian, pastinya kita harus mempersiapkan diri dengan semaksimal mungkin agar mendapatkan hasil yang maksimal.

Salah satu yang bisa kita lakukan adalah belajar dengan sungguh-sungguh.

Namun, terkadang hasil ujian tidak sesuai ekspektasi, sedangkan kita sudah berusaha maksimal. Rasa kecewa, marah, dan sedih pasti bercampur menjadi satu.

Ketika berada dalam situasi tersebut, sering kali kita lepas kendali sehingga terjerumus ke dalam rasa sedih dan kecewa yang berlebihan.

Padahal, keduanya tak baik apabila dirasakan hingga berlarut-larut. Lantas, apa yang harus dilakukan untuk bangkit dan pulih dari hal ini?

Filsafat Stoisisme jawabannya

Filsafat stoisisme merupakan aliran filsafat yang lahir pada era Helenistik. Dikutip dari artikel Bentang Pustaka, aliran filsafat ini mengajarkan manusia untuk lebih tangguh dan bahagia dengan cara mengelola ekspektasi dan menikmati dinamika kehidupan.

Dengan kata lain, aliran filsafat ini mengajarkan manusia untuk bisa mengontrol hal-hal yang terjadi dalam hidup dan bagaimana meresponsnya agar bisa menghadirkan kebahagiaan serta ketenangan.

Dalam buku Kamus Filsafat yang ditulis oleh Lorens Bagus, dijelaskan bahwa stoisisme lahir pada tahun 108 sebelum masehi di Athena dengan Zeno dari Citium sebagai pelopornya.

Mazhab Filsafat Yunani Kuno ini mengidealkan sosok manusia yang hidup selaras dengan alam, mengendalikan afeksi-afeksinya, dan menanggung penderitaan secara tenang.

Selain itu, stoisisme juga mengidealkan agar manusia memiliki hidup dengan tujuan rasa puas yang disertai kebajikan.

Kebajikan tersebut kemudian menjadi satu-satunya sumber kebahagiaan atau dapat disebut eudaimonia.

Selain itu, tujuan dari stoisisme juga menciptakan ketentraman hidup atau ataraxia.

Masih dengan referensi buku yang sama, stoisisme berlanjut hingga periode Kekaisaran Romawi bersama tokoh-tokohnya yang terkenal, seperti Seneca, Epictetus, dan Marcus Aurelius.

Pada masa modern, dengan segala hiruk pikuk kesibukan yang dihadapi manusia, aliran filsafat ini masih relevan diterapkan.

Lantas, apa saja pokok ajaran dalam filsafat stoisisme yang relevan di masa kini dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari?

Dikotomi kendali

Dalam artikel “Menikmati Dinamika Hidup dengan Stoisisme” oleh Lingkar Studi Filsafat (LSF) Discourse, stoisisme mendikotomi kendali dalam kehidupan manusia menjadi dua, yaitu sesuatu yang bisa dikendalikan dan sesuatu yang berada di luar kendali.

Persepsi, emosi, dan upaya merupakan sesuatu yang bisa dikendalikan. Hal tersebut berada dalam diri manusia sehingga kita dapat mengelolanya dengan kendali penuh.

Di sisi lain, sesuatu yang berada di luar kendali adalah pendapat orang lain, kejadian alam, dan fenomena-fenomena lain yang bukan disebabkan oleh diri sendiri.

Dikotomi kendali dapat diterapkan pada kehidupan nyata. Misalnya pada kasus ujian sebelumnya, dikotomi kendali membagi hal tersebut menjadi dua persepsi.

Pertama, sesuatu yang dapat dikendalikan, yaitu bagaimana upaya belajar, suasana emosi, dan dan kesiapan mental terhadap ujian tersebut.

Kedua, sesuatu yang berada di luar kendali, yaitu situasi dalam ruangan ujian, pengawas yang mengawasi ujian, dan hasil ujian itu sendiri.

Dengan mengendalikan apa yang bisa dikendalikan, kita dapat fokus dengan ujian tersebut secara maksimal.

Bagaimana hasilnya, kita sudah mengerahkan segala kemampuan yang dimiliki. Situasi ruangan, pengawas, dan hasil ujian nantinya adalah sesuatu yang tidak bisa dikendalikan sehingga tak perlu dirisaukan agar perhatian tetap tertuju dengan diri sendiri.

Melatih persepsi

Dalam skala praktis, dikotomi kendali diwujudkan dengan berlatih mengatur persepsi. Dengan melatih persepsi, seseorang berusaha memfokuskan diri untuk mengatur hal-hal yang bisa dikendalikan.

Melatih persepsi diibaratkan seperti membolak-balikkan sebuah koin untuk melihatnya dari dua sisi.

Masih dengan contoh yang sama, apabila pada akhirnya kita gagal mengikuti ujian, tentu persepsi negatif akan muncul.

Dengan melatih persepsi, kita dapat memaknai ulang kegagalan sebagai ajang memperbaiki diri.

Nantinya, saat dihadapkan dengan ujian serupa, kita tak akan mengulang kesalahan yang sama.

Amor Fati

Setelah memahami pengendalian, pemahaman selanjutnya adalah amor fati. Amor fati merupakan frasa dari bahasa Latin yang berarti ‘love of fate’ atau mencintai takdir.

Mengutip artikel Daily Stoic, dalam stoisisme, ajaran amor fati tersirat dalam buku Discourses yang disusun oleh Epictetus.

Ajaran tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut, “Jangan berharap sesuatu berjalan seperti apa yang Anda inginkan. Sebaliknya, harapkan apa yang terjadi, terjadi seperti apa yang terjadi. Dengan demikian, Anda akan bahagia.”

Amor fati membawa seseorang untuk menerima dan mencintai hal-hal yang berada di luar kendali, baik itu disukai ataupun tidak.

Meskipun hal ini sulit untuk dilakukan, tetapi kita tak bisa menolak takdir yang sudah terjadi. Tentu, hal ini adalah sebuah kesia-siaan.

Dengan melaksanakan amor fati, kegagalan dapat diubah persepsinya menjadi positif. Perasaan bahagia akan muncul karena kita telah menerima takdir yang telah terjadi.

Setelahnya, kita tinggal berbenah agar kedepannya bisa mendapatkan hasil yang lebih baik lagi.

Dalam siniar Anyaman Jiwa episode “Filosofi Teras: Mengendalikan Representasi”, Henry Manampiring memberikan pandangannya mengenai stoisisme dan bagaimana ajaran filsafat tersebut dapat memberikan seseorang kebahagiaan secara utuh.

Dengarkan episode kesehatan mental lainnya dari siniar Anyaman Jiwa dengan mengakses tautan berikut https://spoti.fi/3rd5rzk.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com