Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Tirta Akdi Toma Mesoya Hulu
Pengajar IT dan Penulis Novel

Pengajar IT dan Penulis Novel. Pengajar senior di CEP-CCIT Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Alumni Fasilkom Universitas Indonesia. Mantan Coordinator Volunteer Asian Para Games 2018 dan Penyiar Radio.

Telah menekuni hobi menulis sejak 2011 dan telah menulis sejumlah novel di beberapa platform digital, memiliki kegemaran memperhatikan tren di sosial media terutama yang berkaitan dengan sudut pandang generasi milenial dan Gen-Z.

Terjebak Self-Diagnose karena Media Sosial

Kompas.com - 07/02/2022, 13:42 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KESEHATAN mental atau Mental Health merupakan salah satu isu yang mulai merebak di kalangan masyarakat terutama kalangan anak muda.

Tak jarang kita temui anak muda yang “melabeli” diri mereka dengan sebuah penyakit mental seperti Bipolar, Anxiety, OCD, dll.

Namun, apakah label yang mereka sematkan pada diri mereka itu sudah melalui proses yang tepat atau justru hanya “self diagnose”?

Kasus terakhir yang berkaitan dengan kesehatan mental yang sedang heboh dibicarakan adalah kasus OCD yang menimpa salah seorang selebriti tanah air, Aliando Syarief.

Melalui fitur siaran langsung di media sosial miliknya, Aliando mengatakan bahwa ia vakum selama kurang lebih dua tahun karena tengah berjuang menghadapi OCD (Obsessive Compulsive Disorder) yang ia miliki.

Aliando mengungkapkan bahwa OCD yang ia idap tergolong ekstrem. Ia bahkan sampai menghitung jumlah rambut di kepalanya ketika mandi.

Bukan hanya Aliando, banyak publik figur tanah air lainnya yang akhirnya mulai bermunculan dengan kisah mereka saat mengidap penyakit mental, salah satu yang paling terkenal adalah kisah Marshanda yang mengidap Bipolar.

Lantas, apakah ada keterkaitan antara perkembangan teknologi dengan masalah kesehatan mental di kalangan anak muda ini?

Bukan barang yang asing lagi jika teknologi menawarkan begitu banyak manfaat kepada penggunanya.

Salah satunya adalah kemudahan akses untuk berkomunikasi dan memperluas jaringan melalui media sosial.

Kita bisa melihat keseharian seseorang melalui feeds atau status yang mereka bagikan melalui media sosial.

Hal ini lah yang akhirnya menjadi tolak ukur life goals atau hidup yang “enak” bagi sebagian orang.

Kebanyakan dari anak muda langsung membandingkan hidup yang mereka jalani dengan hidup seseorang yang terlihat begitu bahagia dan sempurna di media sosial.

Secara tidak langsung hal tersebut memicu rasa insecure di diri mereka karena merasa orang lain menjalani hidup yang lebih layak dan telah mencapai kesuksesan dibandingkan dengan diri mereka.

Padahal, jika kita telaah lebih dalam, seseorang pasti akan menunjukkan sisi terbaik dari hidupnya di dalam media sosial.

Tentunya kita tidak bisa membandingkan hidup yang kita miliki dengan sebuah story Instagram yang hanya lima belas detik (meski sampai berbentuk titik titik).

Hal ini juga terkait dengan personal branding dari seseorang melalui media sosial miliknya.

Tak jarang hal itu justru menjadi bahan perbandingan bagi orang lain yang merasa hidupnya biasa-biasa saja.

Penggambaran di atas hanyalah salah satu contoh dampak teknologi terhadap kesehatan mental seseorang.

Alhasil, ketika seseorang muncul dengan diagnosa penyakit mental yang mereka miliki seperti kasus Aliando, banyak orang yang akhirnya juga ikut-ikutan merasa memiliki penyakit mental yang sama, hanya dengan parameter “membandingkan” atau bisa kita sebut dengan juga dengan “self diagnose”.

Penyakit mental bukanlah hal yang sederhana dan mudah untuk didefinisikan, karena pada dasarnya sifat dan perilaku manusia adalah abstrak.

Merujuk pada kasus Aliando, banyak anak muda yang merasa memiliki penyakit yang sama hanya karena mengecek pintu rumah apakah sudah dikunci atau belum secara berulang, atau memeriksa apakah kompor yang sudah digunakan untuk memasak sudah dimatikan.

Jika kita memang merasa ada yang tidak beres dengan diri kita, maka sebaiknya lakukan pemeriksaan dengan bantuan tenaga ahli agar mendapatkan penanganan yang tepat.

Anehnya, kebanyakan anak muda merasa yakin dengan self diagnose mereka tentang penyakit mental yang mereka miliki dan terkesan bangga, seolah-olah penyakit mental itu “keren”.

Tidak ada salahnya jika kita memeriksakan kesehatan mental kita pada mereka yang ahli, penyakit mental tidak selalu berarti gila.

Dengan kita melakukan diagnosa melalui ahlinya, artinya kita menunjukkan rasa peduli terhadap diri kita sendiri.

Mari kita sama-sama lebih aware tentang penyakit mental dan menjadi generasi yang cerdas dengan tidak melakukan self diagnose jika kita merasa memiliki penyakit mental.

Terdapat proses yang cukup panjang yang harus dilakukan seseorang dengan bantuan ahlinya sebelum sebuah diagnosa dikeluarkan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com